Pengaruh Karya Sastra Terhadap Pembaca
Oleh: Ari
Wibowo
Narasumber: Fitra Wahyuliansyah, mahasiswa sastra indonesia
angkatan 2012, Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Mulawarman. Ia adalah
seorang penikmat sekaligus pengamat karya sastra, karya sastra yang klasik
(angkatan -45 ke bawah) merupakan bacaan yang ia gemari, namun tidak menutup
kemungkinan juga ia tetap membaca karya sastra 2000-an. Tapi ia tidak berminat
untuk membaca karya sastra populer atau teenlite – yang ia anggap sampah.
”karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang membawa
hal baru untuk saya” ujarnya ketika penulis bertanya tentang karya sastra yang
ia sukai. Lanjut dari itu, ia mebeberkan ada dua karya sastra yang paling
berkesan dan mengubah pemikirannya, yaitu Novel “Arok Dedes” karya Pramoedya
Ananta Toer dan Novel “Bilangan Fu” karya Ayu Utami. Kedua karya tersebut
memiliki hal baru yang mempengaruhi narasumber (pembaca) dalam pola pikirnya,
yaitu sebagai berikut:
1. Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Arok dedes
merupakan novel yang berpengaruh bagi narasumber (pembaca), bagaimana tidak
novel ini mampu mengubah pandangan mengenai tokoh ken Arok. Pada saat narasumber
duduk di sekolah dasar, seorang guru pernah bercerita tentang kisah Ken Arok
dan Ken Dedes dimana seorang Ken Arok adalah tokoh yang pemberontak yang
akhirnya kena karma karena membunuh Ayah dari anak tirinya. Namun, dalam novel
Arok Dedes ini diceritakan bahwa Ken Arok bukan hanya seorang berandalan
pemberontak, seperti yang banyak dikatakan buku pelajaran sejarah (yang pernah
disampaikan gurunya), tetapi disini diceritakan bahwa Ken Arok adalah seorang
pemimpin rakyat yang tidak puas dengan pemerintahan yang menindas. Maka
berubahlah pandangan narasumber mengenai sejarah yang menyembunyikan kebenaran
dari sebuah peristiwa.
2. Bilangan FU karya Ayu Utami
Dalam novel
Bilangan Fu, narasumber mendapatkan hal yang besar mengenai perubahan pola
pikirnya. Dimana dalam novel ini dikatakan bahwa “kebenaran harus ditunda”
kebenaran hari ini bisa saja tidak berlaku untuk hari esok. Maka toleransi dan
saling menghargai pendapat satu sama lain harus dikedepankan.
Dari dua
novel diatas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra memiliki daya pengaruh yang besar
terhadap pembacanya.
1. Sastra Sebagai alat memanusiakan manusia
Pengarang
adalah seorang yang resah terhadap lingkungan zamannya, lewat karya yang
dihasilkannya pengarang akan menyampaikan ideologi-ideologinya. Dimana ia ingin
menyadarkan masyarakat yang ia anggap telah kacau.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk
senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia
lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak
menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti,dan prilaku-prilaku lainnya.
Seperti dalam teori Humanistik Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Dalam novel Bilangan Fu, secara tidak sadar pembaca telah
dimasuki ideologi pengarang. Dimana pengarag ingin menyampaikan bahwa kebenaran
tidaklah milik seorang, namun kebenaran adalah hak semua orang. “kebenaran
harus ditunda” merupakan sebuah pernyataan ketegasan dari Ayu Utami melalui Bilangan
Fu, ada juga karya yang memiliki visi yang sama dengan Bilangan Fu yaitu “DODOLITDODOLITDODOLIBRET”
karya.
Pada akhirnya, narasumber sadar bahwa kebenaran itu bukan
hanya satu – selama ia masih hidup bermasyarakat. Disini pengarang mengajak
pembaca untuk toleransi dan menghargai satu sama lain, menjadi manusia pada
hakikatnya: yaitu manusia yang berkesadaran tentang sosial.
2. Sastra Sebagai Kebenaran
Jika ilmu sejarah mengemukakan tentang fakta-fakta dalam
suatu peristiwa, maka sastra akan mengemukakan kebenaran. Seperti halnya dalam
karya Arok Dedes karya Pram. Dalam sejarah, dikatakan bahwa seorang Ken Arok
adalah sosok yang pemberontak yang suka merampok, namun dalam sastra
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan Ken Arok akan ditelusuri hingga mendapatkan
suatu pernyataan yang baru – yang benar. Contoh lainnya seperti kejadian
pembunuhan, jurnalistik hanya akan mengemukakan bahwa ada tersangka yang
membunuh korban, tetapi sastra, akan menelusuri apa penyebab tersangka membunuh
korban.
Dalam hal
ini, novel Arok Dedes hadir membenarkan apa yang tidak diungkap sejarah, dimana
narasumber disadarkan bahwa kejahatan Ken Arok hanyalah reksinya terhadap rezim
penindasan saat itu.
3. Sastra sebagai pengingat sejarah
Dalam dunia sastra, ada istilahnya fiksi dan imajinasi. Dua
kata ini tidak pernah lepas dari ruang sastra, karena senyata apapun tentang
muatan cerita, tetap saja akan ada unsur fiksi dan imajinasi. Namun pada
dasarnya pengarang menghasilkan sebuah karya dengan berdasarkan pengalamannya. Sastra
merupakan penggambaran kehidupan yang dituangkan melalui media tulisan.
Terdapat hubungan yang erat antara sastra dan kehidupan, karena fungsi sosial
sastra adalah bagaimana ia melibatkan dirinya ditengah-tengah kehidupan
masyarakat (Semi, 1989:56). Dari sini, karya sastra boleh dianggap lahir
sebagai pengingat sejarah. Karya sastra hadir dalam berbagai zaman, tidak
terikat oleh suatu ruang, dimana karya sastra dianggap berada hanya pada masa
penulisannya. Kesusastraan bukan suatu seri karya yang unik dan tak punya
kesamaan satu sama lain, dan bukan pula sejumlah karya yang terkurung oleh
lingkungan waktu seperti zaman klasik atao romantik. (Welek & Warren,
1989:41).
Satra hadir sebagai pengingat masa lalu, seperti yang
dialami oleh narasumber. Narasumber mendengar Kisah Ken Arok ketika duduk di
sekolah dasar, saat duduk di bangku kuliah ia diingatkan kembali dengan novel
Arok Dedes. Dalam novel tersebut pula akan diuraikan bagaimana perjalanan dari
para tokoh pada masa itu. walaupun karya sastra dianggap fiksi, namun tetap
saja suatu karya sastra memuat hal seperti dalam keseharian/kehidupan
sehari-hari.
Daftar Pustaka
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa
Ratna, Yoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Komentar