Mimpi Terakhir
By: Arila Kasipahu
Ibu, ini yang aku janjikan kemarin. Melanjutkan cerita
mimipimu yang belum selesai, tentang bagaimana aku berada dalam kebahagiaan,
menurutku.
Aku mestinya tidak ingin membuat ibu kacau dengan
pikiran-pekiran tentangku, tapi, adakah seorang anak yang tidak pernah
merepotkan ibuya? Setidaknya itu yang terakhir dalam pikiranku, ibu.
Mestinya seseorang harus tahu bagaimana semuanya terjadi
padaku ibu, namun ibu tahu sendiri? Kita hanya orang-orang biasa, kekuasaan apa
yang kita punya? Selain kesabaran pada kenyataan.
Kemarin malam aku hadir dalam tidurmu, sebentar
mengingatkanmu bahwa aku belum sepenuhnya hilang, ibu tahu sendiri. Wangi
parfumku masih memenuhi segala ruangan, sering kau tegur untuk jangan
menggunakan parfum berlebihan. Sebenarnya aku tidak memakai parfum yang banyak
bu, hanya saja kepekaanmu terhadapku yang membuat begitu, kekhawatiranmu, juga
rasa sayangmu.
Kemarin, Sebelum ibu tidur, ibu masih menggambarkan wajahku
di udara, membentuk pola, seperti kedua mataku, bibirku yang sering kau sentuh,
dan rambut yang sering kau rapikan, semuanya dalam bentuk angan-angan. Sayang
sekali bapak tidak melihat semua itu, ibu.
Kemarin malam, sepotong cerita yang sepenuhnya nyata aku
kisahkan. Mulai dari pagi itu, ibu tahu, aku tidak pernah ingin telat ke
sekolah. Secepat mungkin aku harus hadir, karena jarak ke sekolah terlalu jauh
untuk bersantai. Hutan yang rimbun penuh dengan kabut yang dingin,
burung-burung belum berani berkicau, sebab anak-anaknya masih butuh pelukan.
Seperti biasa, aku tidak pernah lupa memcium tanganmu. Aku
menganggap itu sebagai doa, karena ibu selalu meninggalkan kesibukan untuk
waktu yang singkat itu. Dan aku tahu, doa harus khusuk, seperti yang ibu lakukan.
Aku sayang ibu.
Hati-hati Rin, katamu. Aku berbalik Seperti biasa, menjawab
dengan senyuman. Andai bapak ada.
Ibu, aku tidak pernah sehati-hati seperti pada pagi itu,
pikiranku kacau, dan pandanganku seperti ingin berputar. Separuh jalan aku
menepikan motorku, memijit kepala, lalu menyalakan motor lagi. Setidaknya agak
mendingan.
Pagi ini berbeda dengan pagi yang pernah kulalui, amat
hening juga dingin. Pelan-pelan aku menyelinap dalam kabut, berharap
cepat-cepat sampai.
Ibu, sebenarnya terlalu sulit untuk kuceritakan selanjutnya,
namun kemarin malam aku mengakhiri ceritaku itu dengan isyarat melanjutkannya
di mimpi esok. Yah, kupikir ini terakhirnya mebuat ibu repot.
Selanjutnya ibu, aku masih hati-hati menarik gas motor,
menabrak kabut jalan sesempit ini amatlah sulit. Aku sudah hafal jalan ini,
sekitar 20 meter di depan ada tikungan ke kanan. Maka aku menyipitkan mata,
berharap mataku segera menangkap tikungan itu. Namun apa yang terjadi bu? Aku
terlempar, mobil terlalu kuat untuk diadu dengan motor. Kepalaku amat sakit,
aku berharap tidak terlalu parah, sebab aku tidak pernah lupa memakai helm.
Andai bapak ada.
Ibu, seperti apakah kehidupan yang pahit itu? Kita memang
hidup tanpa bapak, juga tanpa uang yang lebih. Tapi kenyataan tidak pernah
terlihat pahit, atau sia-sia. Dan, apa yang perlu ditangisi dalam hal kematian?
Karena kehilangan? Itu terlalu berlebihan, menurutku. Kematian juga tidak perlu
dirayakan bu, seperti kata mereka. Kematian itu hanya untuk melupakan. Kematian
juga untuk mengingatkan, bahwa ada tempat lain yang harus kita kunjungi. Ibu
yang mengajariku.
Satu menit mungkin telah berlalu, aku masih pada posisi
awal. Rasanya amat sakit, tapi aku tidak bisa teriak. Jalanan masih lengang,
mobil hitam di sebelah kiri jalan masih diam, begitu juga pintu dan kacanya.
Sopinya ragu-ragu untuk turun, suara
mesinnya samar-samar ku dengar, lampu di bagian belakang masih menyala merah.
Ibu, pada saat itu juga aku ingin bangun dan berdiri dan menyalakan motor, aku
tidak ingin terlambat. Tapi, aku menagis, seragamku basah. Andai bapak ada.
Jalanan masih saja lengang, akhirnya sopir mobil hitam itu
turun. Aku dipanggil – aku ingin menyahut “Saya tidak apa-apa om”
Seorang petani berlari menuju arahku, sedangkan Supir itu
menelpon seseorang.
“apa yang terjadi pak?” tanya petani. “sebentar pak” Supir
itu masih menelpon.
Dari jauh terdengar suara kendaraan, rasanya motor. Makin
pagi kendaraan semakin ramai. Mereka berhenti, melihat keadaanku.
“anak siapa?”
“orang mana?” suara orang-orang makin ribut, aku tidak bisa
mendengar lagi, telingaku rasanya kemasukan air, hidungku juga, baunya amis.
“siapa yang menabrak?” tanya petani lainnya
“dia menabrak mobil saya yang sedang parkir di sana, ini
karena kabut yang tebal. Sepertinya Ia tida bisa melihat jalan” sopir itu
menunjuk mobilnya
“berarti salah dia sendiri”
“tapi cepat segera tolongin dia, di dekat sini ada
puskesmas. Cepat angkut dia”
“sebentar pak, saya sudah telpon mobil”
“pakai mobil bapak aja”
“jangan pak, itu mobil dinas. Nanti anggota dewan akan
menaiki mobil itu”
Ibu, aku mendengar apa saja yang mereka katakan, terlebih
apa yang sopir itu katakan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa bu. Aku tenggelam
dalam tuduhan sopir itu. Tentu saja siapa yang tidak percaya dengan orang yang
memakai baju seragam seperti itu. Sopir itu terlalu sibuk jika harus mengurus
aku yang sekarat, bu. Ia punya pekerjaan untuk menyelamatkan penduduknya.
Memberantas kemiskinan dan kriminal yang paling penting, katanya. Kalo ditanya
masalah korupsi, tentu dia juga akan jawab dengan semangat “koruptor harus dimusnahkan”.
Sopir itu pergi bu, ia menitip uang untuk merawatku katanya. Ia juga menyuruh
untuk menunggu jemputan mobil yang sudah ia telpon.
“tolong bawa anak ini ke puskesmas, sepertinya lukanya tidak
terlalu parah. Cuman pendarahan biasa seperti anak-anak jatuh dari sepeda.
Nanti saya kabari desa sebelah, sepertinya anak ini dari desa sebelah” sopir
itu pergi. Ia memperhatikan lecet pada bagian kanan mobilnya.
Orang-orang ribut karena aku sudah tidak sadarkan diri,
seorang nenek memegang tanganku. Sabar nak, sebentar lagi mobil itu datang.
Rasanya tiga puluh menit berlalu, mobil pik up datang. Aku
dimuat di mobil itu bersama seorang nenek dan dua orang petani, petani lainnya
pergi setelah mendapat uang rokok dari sopir tadi.
Segera aku sampai di puskesmas, petugas di sana berlari
menjemputku.
“cepat, kondisinya kritis” kata salah seorang perawat
“mana dokter?”
“Sebentar dia kesini, dia masih ngobrol dengan tamunya”
Beberapa perawat itu membersihkan darah dikepalaku, aku
masih tida sadarkan diri. Beberapa waktu kemudian, dokter itu datang. Ia
memeriksa kepalaku “siapa keluarganya” tanya dokter itu. Nenek dan para petani
tadi menggeleng, tentu saja petani itu benar.
“ia pendarahan di dalam kepala, segera harus di bawa ke
rumah sakit”
“tapi keluarganya mana dok? Siapa yang tanggung jawab?”
“kasihan dia kalo harus menunggu keluarganya, saya ada uang
buat tanggungin dia” kata salah seorang petani
“tidak bisa pak, kita harus mengikuti peraturan yang ada”
“tapi kasihan dia”
“bapak mau membawa dia ke rumah sakit atas nama bapak?”
Petani itu menggeleng. tentu saja dia benar, kan bu?
Akhirnya kita dipaksa percaya pada perturan dan prosedur
akan menjadi jalan lurus untuk hidup dalam tentram, tanpa tahu ada hal yang
lebih dipentingkan dari itu semua bu, yaitu sisi kemanusiaan. Benar kan bu? Dulu bapak yang mengajarkanku.
Tapi ibu jangan anggap apa yang kuceritakan itu sebagai
penyesalan bu, aku sudah bahagia bu, bahkan lebih.
Komentar
(Just so you know, it is not related to genetics or some secret-exercise and absolutely EVERYTHING to do with "how" they are eating.)
P.S, I said "HOW", and not "WHAT"...
TAP this link to reveal if this little questionnaire can help you decipher your true weight loss possibilities