“ANALISIS STUDENT HIJDO KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO”
SASTRA SEJARAH
“ANALISIS STUDENT HIJDO KARYA MAS MARCO
KARTODIKROMO”

Oleh
Ari Wibowo
NIM 1414015080
Sastra Indonesia S1
Dosen Pengampu: Dahri Dahlan, S.S., M,Hum.
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016
1. Mas Marco
Kartodikromo
Mas
Marco Kartodikromo lahir di Cepu, Blora, pada 1890. Ia adalah seorang wartawan
dan seorang aktivis kebangkitan nasional asal Hindia-Belanda di masanya.
Perannya sebagai aktivis itulah yang membuat dirinya keluar masuk penjara
beberapa kali. Marco pun pernah menjabat sebagai sekretaris Sarekat Islam di
Solo.
Marco terlahir
sebagai anak seorang priyayi, hanya sebagai priyayi rendahan. Marco pernah
bekerja di Semarang sebagai juru tulis di kantor pemerintahan. Disanalah ia
belajar bahasa Belanda.
Pada
1914 atau pada saat ia berusia 24 tahun, Marco pindah ke Surakarta dan
mendirikan surat kabar Doenia Bergerak. Di surat kabarnya Marco menjadi
penulis dan redaktur surat kabar bahkan ia tidak segan-segan mengkritik tatanan
kolonial. Karena kritikannya itulah yang membuat ia dianggap sebagai orang yang
pemberontak terhadap Belanda. Hingga akhirnya kritikannya itu membawa dirinya
keluar masuk penjara. Ia pernah dipenjara oleh Belanda pada 1915, Mei 1917
hingga Februari 1918, dan 1926 diasingkan ke Digul, Irian Jaya hingga ia
meninggal. )* Artikel Biorhimitzuyang
berjudul Biografi Mas Marco
Mas
Marco menciptakan slogan “Sama Rata Sama Rasa”. Slogan ini memberikan dorongan
pada rakyat yang masih pasif, sugestif untuk lebih berani memenangkan keadilan
merata, untuk maju, untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan
serta penjajahan nasional, bukan saja berdasarkan ilmu dan pengetahuan,
terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya
sendiri.
2. Tentang
Student Hidjo
Student
Hidjo karya Mas Marco adalah novel yang ditulis sekitar tahun 1918, awalnya
novel ini diterbitkan secara bersambung di Harian Sinar Hindia, baru pada tahun
1919 terbit sebagai buku. Novel ini adalah bentuk perlawanan untuk kaum
penjajah, dimana pribumi yang ditindas menganggap bahwa begitu tinggi dan
mulianya kaum penjajah (orang Belanda) kemudian dilengserkan lewat peran tokoh
di dalamnya. Hidjo, seorang pemuda pribumi yang melanjutkan sekolahnya di
Belanda menjadi tokoh utama. Ia membawa
alur untuk perlawanan terhadap penguasaan penjajah, maka tidak heran novel ini
ditolak oleh Balai Pustaka untuk diterbitkan. Novel ini melawan Balai Pustaka
yang – karena berada dibawah kekuasaan kolonial – mengindahkan kaum penjajah.
Awal cerita
dimulai dari keinginan Raden Potronojo (Ayahnhya Hidjo) untuk menyekolahkan
Hidjo ke Belanda, hal itu bertujuan untuk – bila Hijdo telah selesai sekolah
nanti – mengangkat derajat keluarga yang berasal dari keluarga pedagang.
Keinginan
ini awalnya tidak disetujui oleh Raden Nganten Potronojo (Ibunya Hidjo) karena
berpandangan bahwa setiap pemuda yang sekolah di Belanda, pasti akan pulang
dengan sikap berbeda – bersikap nakal. Namun karena Hijdo merupakan anak yang
cerdas dan berbudi baik, akhirnya Raden Nganten Potronojo mengijinkan.
Awalnya
ketika Hidjo di Belanda, ia amat menjaga diri dan hati-hati pada pengaruh
budaya eropa – sebab ia telah berjanji pada ibunya untuk tidak nakal dengan
perempuan selama di Belanda. Namun akhirnya ia terjerumus dalam pengaruh Betje
(Perempuan yang jatuh cinta padanya), mereka berhubungan intim.
Pada
akhirnya, Hidjo memutuskan cintanya terhadap Betje dan kembali ke Jawa untuk
menikah dengan R.A Woengoe (perempuan yang ia cintai).
Kehidupan
tokoh dalam novel ini begitu tenang dan bahagia, keluarga pedagang dan pejabat
daerah yang memiliki keberuntungan menjalani taraf hidup yang serba kecukupan,
memang pada awalnya itulah yang ingin ditampilkan oleh Mas Marco seperti yang
tertulis dalam (Toer, 2003:64-65) “…kemudian menerbitkan novel yang mencoba
melukiskan asal-sosial paraintelektual indonesia, suatu asal-sosial
borjuis-kecil-feodal-birokrat sekaligus yang lemah batinnya, yang Cuma karena
klasnya beruntung sajalah bisa memborong ilmu dan pengetauan baik dari
lambang-lambang pendidikan dalam negeri maupun luar negeri – ilmu dan
penegtahuan yang diborong otaknya untuk kemudian dibekukan dan dibawa mati,
tidak mampu mengamalkan karena memang kelemahan batin yang mewarisinya dari
asal-sosialnya”.
3. Realisme
Sosial dalam “Student Hidjo”
Dalam
kehadirannya di tengah masyarakat, seorang sastrawan melahirkan sebuah karya
sastra bukan hanya untuk menghibur dan mengundang gelak tawa terhadap pembaca,
namun juga seorang sastrawan melahirkan sebuah karya sastra yang mengandung
nilai dan norma atau sejenis kitab yang bisa menyadarkan manusia. Lewat
karyannya, sastrawan membangun kesadaran terhadap penindasan yang menimpa masyarakat,
juga berupaya untuk mengajak masyarakat yang tertindas untuk melawan terhadap
sistem borjuis tersebut. Student Hidjo misalnya: tidak semua
masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) yang mengalamai nasib yang buruk atas
perlakuan penjajah (Belanda), dengan bebasnya para tokoh hidup bergelimangan
harta tanpa ada tekanan seperti yang diarasakan klas bawah.
Realisme-sosial
berpandangan bahwa karya sastra adalah hasil jiplakan dari masyarakat pada
zamannya, berupaya mengemukakan kebenaran yang bukan hanya sekadar fakta,
kebenarang yang tidak akan ditulis oleh sejarawan.
3.1 Kasta, pendidikan,
dan ilmu pengetahuan sebagai pembebas
Melalui
Studen Hidjo, Mas Maco sebenarnya punya tujuan yaitu; untuk membangun
masyarakat yang ideal. Masyarakat tanpa penindasan, masyarakat yang merdeka.
Dalam arti terpenuhinya hak-hak sebagai manusia, seperti yang diharapkan oleh
sosialisme. Yaitu manusia yang sama rasa sama rata dan karsa. Maka pada awal
cerita dan sebagai titik tolak alur, kesadaran seorang tokoh (Raden Potronojo)
tentang bagaimana menyetarakan klas sosial agar dipandang. Orang yang
terpandang akan mudah dalam segala urusan dan hal, sebab semua kebutuhan bisa
terpenuhi, tidak adanya klas yang bisa leluasa memerintah dan memperbudak klas
lain, seperti dalam kutipan berikut:
“O,
Adinda, kamu tidak usah berkecil hati!” jawab Raden Potronojo kepada istrinya
yang sedang menangis di depannya. “Pikirkanla, zaman sekarang ini, anak-anak
lelaki harus mempunyai kepandaiann yang sepantasya. Sebab kalau tidak begitu,
anakmu akan kesulitan
mendapatkanpekerjaa. Benar, Hidjo Sudah tamat di HBS, tetapi karena
rupanya dia sangat maju dalam belajarnya dan pikirannya tajam, maka sebaiknya
dia saya suruh meneruskan belajarnya agar menjadi ingenieur di Negeri
Belanda[…] (SH-5).
“Tidak
adinda. Jangan berkecil hati!” kata suaminya yang juga turut sedih demi melihat
istrinya. “Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang
seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai
Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut pegawai
Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya
lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya
mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang
merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita
bisa belajar seperti regent-regent dan pangeran-pangeran.” (SH:6).
Dari kedua kutipan
di atas muncul rasa ingin maju dari ketertinggalan sosial, Mas Marco mengajak
pembaca bahwa dengan menjadi kaya, pintar, dan mendapatkan profesi tertentu,
seseorang atau sebuah keluarga akan terpandang dan dihormati. Ini merupakan
tugas sastrawan dalam masyarakatnya, seperti dalam (Toer, 2003:31) “Pada segi
lain watak ini nampak pada semangat yang diberikannya pada rakyat, pengungkapan
paedagogik dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk lebih tegap dan perwira
memenangkan keadilan merata, untuk maju, untuk malawan, dan menentang
penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional,
bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen tapi juga berdasarka ilmudan
pengetahuan, terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap
sejarahnya sendiri”.
3.2 Rumahku
Istanaku
“Sejauh dan
selama apapun kamu menuntut ilmu ke luar negeri, kembali pulang adalah jalan
terbaik”
Agaknya
sepenggal kalimat di atas adalah hal yang penting yang ingin disampaikna Mas
Marco melalui Student Hidjo, karena bila dikaitkan dengan judunya, makan akan
didapatkan suatu kolerasi yang banyak pembaca menginterpretasikan bahwa
penekanan pesan moral yang ada dalam novel tersebut adalah tentang mengenyam
pendidikan.
Biar
bagaimanapun keindahan dan kenyamanan yang dirasakan Hidjo di Belanda, tetap
saja tak mampu membendung keinginannya untuk kembali ke Jawa.
3.3 Sejarah
adalah fakta, Sastra adalah kebenaran
Lanjut lagi
kepada kehidupan tokoh utama (Hidjo) di Belanda. Anggapan masyarakat pada saat
itu tentang belanda adalah; Belanda itu hebat; kuat; kaya; dan sebagainya.
Namun ketika Hidjo tinggal di sana, semua pandangan tersebut di atas telah di
runtuhkannya. Di Hindia Belanda, orang Belanda sangat ditakuti namun di
Belanda, Hidjo bisa seenaknya memerintah semau kehendaknya. Seperti ketika ia
sedang berada dalam hotel dan Buffet (kafe), ia bebas menyuruh pelayan untuk
ini dan itu.
“Aanneme!”
begitu Hidjo memanggil pelayan Belanda melayani tempat itu.
“Meneer!” jawab
pelayan dan dengan cepat menghampiri tempat Hidjo.
“Minta dua
kopi!” kata Hidjo kepada pelayan Belanda itu.
“Ya Meneer!”
jawab pelayan itu ramah. (SH:81)
Yang lebih
membuat kasihan si Hidjo terhadap Belanda adalah ketika sedang berada di
stasiun Amsterdam, seperti halnya di Indonesia yang memiliki masyarakat kelas
menengah bawah, bahkan yang hidup di jalanan. Di Belanda pun demikian.
Sewaktu Hidjo
dan Betje keluar stasiun hendak naik tram, beberapa tukang semir sepatu,
orang-orang yang berjualan disitu amatribut menenyakan kepadanya. Apakah Hidjo
dan Betdje tidak suka digosok sepatunya? Karena permintaan itu, maka dengan
ikhlas Hidjo memberi uang setali pada penyemir itu, walaupun sepetunya tidak
disuruh untuk menggososknya (SH:139).
Tampaknya Mas
Marco sangat ingin menyadarkan masyarakat Hindia Belanda lewasat dua kutipan di
atas, betapa biasa dan tidak superiornya Belanda yang sebenarnya itu. dengan
pernyataan demikian, tidak heran jika akan adanya cubitan kecil untuk
pembacanya, apalagi bila dipaparkan lebih jelas tentang semboyangnya “Sama Rata
Sama Rasa”. Rakyat jelata pastinya nomor satu dalam mengkampanyekan semboyan
tersebut di atas, sebab semboyan itu memiliki kekuatan yang menghidupi dan yang
memerdekakan.
Pantas
saja Balai Pustaka pada saat itu tidak meneriman Student Hidjo ini, isinya
begitu nyentrik terhadap Belanda. Yaitu tentang bagaimana seorang warga Hindia
Belanda melecehkan Belanda; Hidjo yang dengan mudahnya berhubungan intim dengan
Betje (perempuan Belanda), dengan mudahnya juga Hidjo memutusan hubungan mereka
dan lebih memilih pulang ke Jawa dan menikah di sana. Selain itu, pukulan telak
juga ditujukan untuk Belanda yang “Tidak tahu diri”. Diceritakan tentang warga
Belanda yang amat menyukai adat Jawa dipertemukan dengan seorang sersan Belanda
(yang membenci Hindia Belanda) di atas kapal (Lihat SH:115-125). Di adegan ini,
betapa Mas Marco ingin memeperlihatkan kepada pembaca bahwa Hindia Belanda juga
dipandang baik oleh orang yang baik, malah mereka menghormati adat Hindia
Belanda khususnya Jawa.
Dalam
hal ini, posisi sastra realisme sosialis selamanya sebagai sastra perlawanan.
Jika suatu realitas sudah tidak lagi memenuhi tuntutan zaman, maka bukan saja
harus dirombak dan diubah, tetapi juga harus diberi realitas-realitas baru
sebagai jawaban atas tantangan zaman tersebut. Memang dalam parkteknya,
mengubah dan merombak realitas yang telah ada, kemudian menciptakan realitas
baru, tidak selamanya sesuai dengan direncanakan. Bahkan adakalanya keliru.
Akan tetapi, satu hal harus tetap dipegang, yakni prinsip untuk memenangkan proletar.
Mas Marco dengan segala keberanian dan patriotismenya, melawan suatu aliran
deras yang di atur oleh Balai Pustaka, suatu lembaga di bawah naungan Kolonial,
aliran yang mengindahkan kaum kolonial, yang mengecam atas segala tindakan
berbau perlwanan. Dimana realiatas harus mampu ditunjukkan. Realitas yang sekarang
dialami rakyat, dan realitas masalah yang pernah terjadi, tidak hanya dibiarkan
berlalu begitu saja. Masyarakat harus sadar bahwa masa sekarang merupakan pusat
gerak sejarah di masa depan. Strategi perjuangan pembebasan rakyat tidak akan
berhasil tanpa memahami realitas-realitas tersebut. Di sini ada kesatuan antara
kesadaran seniman realisme sosialis yang membeberkan realitas dalam
karya-karyanya, dengan kesadaran masyarakat yang tengah menggerakkan perjuangan
pembebasan. Kedua kesadaran inilah yang dijunjung tinggi sastra realisme
sosial.
4. Revolusi
Karl Marx dalam “Student Hidjo”
Mas
Marco tampaknya sangat dipengaruhi pemikiran Karl Marx, berhubung dia juga adalah
Partai Komunis Indonesia. Jika dipandang dari objekny, realisme-sosial memang
tidak bisa dipisah jauhkan dari Marxisme, keduanya memiliki objek terhadap
masyarakat bawah (proletar). Keduanya bertujuan memjadi alat pikir yang
mendogkrak klas bawah menuju atas. Jika para filosof hanya mampu mempunyai
persepsi tantang dunia, maka filsafat Marx lebih dilekatkan untuk mengubah
dunia (Santoso dkk, cet-9 2012:37). Latar belakang Mas Marco menulis student
Hidjo ini sepertinya adalah ketika Hindia Belanda sedang dalam masa penjajahan
oleh Belanda, tidak adanya perlawanan yang cukup melengserkan dan mengusir
pemerintah Belanda sehingga masyarakat menjadi apatis dan menerima sejarah.
Pada posisi ini manusia tidak lagi menjadi subjek sejarah yang aktif dan
sekedar menjadi alat sejarah. Inilah mengapa (dalam pemikirannya) Karl Marx melukiskan
sejarah sebelum revolusi sosialis sebagai “pra-sejarah”; karena sejarah yang
sebenarnya hanya berawal bila umat manusia menentukan kembali nasibnya sendiri.
Disini Mas Marco ingin menjadi penjembantan bagi bangsa Hindia Belanda menuju
kemerdekaan, dalam Student Hidjo ia memaparkan “ini lho bangsa Belanda yang
sebenarnya, bangsa yang menjajah kita sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kita. Yang berbeda hanya kemauan untuk bergegas berindah dari datu sejarah
menuju sejarah yang baru” itulah Revolusi.
Mas
Maco merupakan pejuang sastra yang keluar-masuk penjara karena
tulisan-tilisannya yang “nakal”. Seperti halnya dalam Student Hidjo, ia kerap
mencubit Belanda dengan diksi-diksi yang “nakal”. “ha, ha!” Controler tertawa
seolah-olah mempermalukannya. “bukankah tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu
hanya jadi kolonial (serdadu), sebuah pekerjaan yang tidak kurang tidak lebih
sebagai kuli kontrak (SH:118). Mas Marco
ingin menunjukkan bahwa kebenaran didapatkan dari pengalaman dan observasi yang
serius, bukan dengan hanya mendengar kabar dari orang yang seperti angin lewat.
Marx berusaha untuk memberikan suatu pemahaman bahwa pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan manusia terhadap dunia nyata atau kenyataan obyektif, karena
kebenaran pengetahuan hanya ada pada dunia nyata, bukan dalam dunia ide
(pikiran) manusia (Katsoff, 1992:221). Mas Marco juga berpesan agar semua
pembaca Student Hidjo ini agar jangan beranggapan yang minim referen, anggapan
yang bersumber dari lisan yang mudah saja dibelokkan. Sebab Hindia belanda
adalah bangsa yang perkepulauan, untuk diadu domb sangatlah muda.
Katsoff,
Luois O.. 1992, Pengantar Filsafat. terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana
Santoso,
Listiyono dkk. 2012. Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Kartodikromo,
Mas Marco. 2010. Student Hidjo. Yogjakarta: Penerbit Narasi
Toer,
Pramoedya Ananta. 2003. Realisme Sosial dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera
Dipantara
Biorhimitzu.
2015. Biografi Mas Marco(Marco Kartodikromo). https://biorhimitzu.wordpress.com/2015/03/05/biografi-mas-marco-marco-kartodikromo/
dikases pada 5 November 2016
Komentar