Sebungkus Roti Adalah Penertib Masa Depan Kota Samarinda
Oleh:
Ari Wibowo
Anjal (anak jalanan) dan
pengemis adalah dua kelompok orang yang harus merasakan sisa dari serpihan
ketidakmanusian manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Banyak anjal dan
pengemis ditugaskan untuk mengerjakan tugasnya seperti apa yang telahkan
diamanatkan kepadanya, meminta uang. Fenomena anjal dan pengemis ini tidaklah
menjadi hal tabu lagi untuk dibicarakan dalam ruang dan situasi apapun, Pasalnya
hal ini adalah polemik bersama untuk kita yang berkehidupan bermasyarakat.
November 2015 lalu,
Kementerian Sosial RI menyebutkan bahwa jumlah gelandangan serta pengemis di
Kaltim berjumlah 101 orang. Berdasarkan data tersebut, dapat kita lihat adanya
peningkatan jumlah anjal dan pengemis. Tiap lampu merah di Kaltim khususnya
kota Samarinda pada waktu tertentu, anak jalanan akan berkerumuh minimal 10
orang untuk mengamen, mengelap kaca mobil dari debu, dan lainnya dengan harapan
akan mendapatkan uang dari pemilik kendaraan yang sedang berada di bawah lampu
merah. Belum lagi dengan jumlah pengemis yang beredar di sekitaran tempat
ramai.
Tidak menjadi rahasia
umum lagi bahwa keberadaan anak jalanan dan pengemis adalah suatu polemik yang
terstruktur oleh beberapa kelompok orang. Berubahnya nilai dan rasa saling
merasakan penderitaan orang lain sudah menjadi hal tabu untuk dibicarakan di
zaman modern yang penuh dengan informasi ini sehingga manusia masih tetap sibuk
dengan kesibukan mereka masing-masing tanpa memperdulikan yang lain, asalkan
menguntungkan dirinya sendiri.
Keberadaan anjal dan
pengemis yang dibikin-bikin inilah yang dianggap sebagian orang merasa cukup
resah, karena kekurangnyamanan untuk melakukan beberapa hal misalnya mencari
ketenangan di kota besar seperti Samarinda.
Biasanya tempat ramai seperti Tepian Sungai Mahakam menjadi objek hiburan yang
ramai pengunjung beserta anjal dan pengemisnya. Kehadiran anjal dan pengemis ini membuat resah, dimana ketika
pengunjung sedang menikmati suasan dengan teman-temannya diganggu oleh
kedatangan pengemis yang meminta-minta. Sehingga pengunjung mendoktrin pengemis
dan anjal adalah perusuh, ataupun peresah. Begitupun menurut pengendara yang
sedang di bawah lampu merah.
Pengemis sudah dianggap
pekerjaan, semakin hari semakin bertambah pula jumlah pekerjanya. Mengapa mereka cenderung memilih mengemis
daripada bekerja yang lebih terhormat? Ini menjadi pertanyaan yang bisa kita
sendiri jawab dalam hati masing-masing. Inti penyebabnya adalah kemiskinan.
Kemiskinan
adalah inti dari keberadaan anjal dan pengemis
Masalah kemiskinan
memang telah lama ada sejak lama. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi
miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya
kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini, mereka
tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan
kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. Sebenarnya jika
dibandingkan dengan penduduk wilayah daerah kabupaten yang rata-rata masyarakat
yang berekonomi menengah kebawah, masyarakat kota bisa dikatakan lebih miskin.
Masyarakat kota adalah masyarakat yang tebiasa dengan hidup kemudahan dan serba
instan, berbeda dengan masyarakat desa yang segalanya adalah bekerja keras.
Masyarakat desa lebih mengandalkan otot dari pada harus menanggung malu karena
berprofesi sebagai pengemis ataupun sebagai anak jalanan, juga berkaitan dengan
pembangunan infrastruktur daerah kota yang menyudutkan masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah, mereke yang miskin ini menjadi lebih miskin
lagi. Maka demikian anjal dan pengemis lebih bnayak terdapat di daerah
perkotaan.
Intinya masalah
pengemis dan anak jalanan adalah bukan masalah sepihak, namun merupakan masalah
bersama yang perlu kita selesaikan bersama pula. Cara menanggulanginya yang
sangat mudah adalah dengan tidak memberi, karena hokum sosial yang berlaku
adalah dimana ada yang memberi disitu disitu pula ada yang diberi. Mereka
minta, karena kita kasih. Namun tegakah hati kita untuk tidak memberi? Jika
kita lihat penampilan yang mereka tunjukkan, batin akan terguncang, apalagi
ketika kita sedang berada dalam sebuah warung makan dan melihat mereka
menengadahkan tangan ke hadapan kita. Memberi juga adalah sebagai bentuk
melakukan amal ibadah seperti yang diajarkan dalam agama, khususnya agama Islam.
Sebungkus
roti sebagai solusi
Memberikan uang kepada anjal dan pengemis adalah sebuah
pelanggaran. DKI Jakarta mempunyai Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum pasal 40 c yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang
memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap
mobil, Pelanggar pasal tersebut dapat dikenai ancaman pidana kurungan paling
singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu
dan paling banyak Rp 20 juta. Berkait dengan hal demikian, ada
cara yang lebih mulya dan penulis anggap ampuh yaitu dengan memberikan makanan
kepada anjal maupun pengemis.
Pada dasarnya mengemis
dilakukan untuk mendapatkan uang karena kondisi sosial sedang dalam keadaan
miskin, mengemis untuk bisa melanjutkan hidup, sehingga yang dibutuhkan adalah
makanan. Memberikan makanan atau lebih mudahnya memberikan sebungkus roti
merupakan cara beramal sekaligus penanggulangan terhadap maraknya pengemis yang
dikontrol atau pengemis jadi-jadian oleh beberapa oknum. Karena target utama
dari pengemis yang dikontrol adalah mendapatkan uang, uang ini akan dibagikan
kepada pengkontrol dan yang dikontrol (pengemis) sehingga terdapat pengemis
yang telah memiliki rumah dan kendaraan yang sukup.
Dengan memberikan
sebungkus roti (makanan atau minuman) akan membuat pengemis jadi-jadian tidak
mendapatkan uang, maka yang mengendalikannya pun akan mencari pekerjaan lain
yang lebih halal. Harapan kita semua adalah mereka akan berhenti menjadi
pengemis dan pengendali pengemis.
Komentar