FEMINISME MULTIKULTURAL DAN GLOBAL


Nama: Ari Wibowo
NIM: 1414015080

Feminisme dunia ketiga atau feminisme postfeminisme (ada beberapa pakar yang tidak menyetujui atas sebutan ini) adalah bentuk feminisme yang sudah meninggalkan akar pemikiran terdahulunya, yaitu bagaimana perempuan merasa resah atas budaya patriarki. Para feminis dunia ketiga, menganggap ruang gerak dan sensitivitas feminisme tradisional atau feminisme sebelum feminisme dunia ketiga terlalu sempit, katanya feminis bukan hanya persoalan penindasan laki-laki terhadap perempuan, melainkan ada sesuatu yang lebih besar dan belum terselesaikan oleh feminisme tradisiaonal.
Maka dengan pandangan di atas, para pemikir feminisme dunia ketika menyampaikan beberapa kekurangan dari feminis tradisional dan harus diperbaiki oleh feminis dunia ketiga, di antaranya lahirlah dan tercetuslah (kita batasi hanya) feminisme multikultural dan global. Sebenarnya masih ada feminisme dunia ketiga lainnya, namun dalam pembahasan di bawah ini akan di bahas mengenai bagaimana feminisme multikultural dan global muncul, bagaimana pemikirannya, dan siapa saja tokohnya.
Feminisme multikultural dan global berbagi kesamaan dalam cara pandang mereka terhadap diri yaitu diri adalah terpecah. Meskipun demikian bagi feminis multikultural dan global latar pecahan ini bersifat budaya rasial dan etnik daripada seksual psikologis dan sastrawi. Ada banyak kesamaan antara feminisme multikultural dan global, keduanya menentang esensialisme perempuan yaitu pandangan bahwa gagasan tentang perempuan ada sebagai bentuk platonik yang seolah oleh setiap perempuan dengan darah dan daging dapat sesuai dalam kategori itu kedua pandangan fefinisme ini juga menafikkan “chauvisme perempuan” yaitu kecenderungan dari segelintir perempuan yang diuntungkan karena ras atau kelas mereka, misalnya, untuk berbicara atas nama perempuan lain (Tong 1998:309).
Tong melanjutkan, alih-alih kesamaan penting yang menghubungkan feminis multikultural dan feminis global ada beberapa perbedaan besar yang membedakan keduanya, feminisme multikultural didasarkan pada pandangan bahwa bahkan di dalam satu negara, Amerika Serikat misalnya, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksi secara setara, bergantung kepada ras dan kelas dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan pekerjaan status perkawinan kondisi kesehatan dan sebagainya setiap perempuan di Amerika Serikat akan mengalami operasi terhadap mereka sebagai seorang perempuan Amerika secara berbeda pula. Memperkaya pandangan feminis multikultural feminis global lebih jauh menekankan bahwa bergantung kepada apakah seorang perempuan warga negara dunia kesatu atau dunia ketiga negara industri maju atau negara berkembang, negara yang menjajah atau dijajah, akan mengalami operasi yang dialaminya secara berbeda.
1.      Akar dan Pandangan umum Feminisme Multikultural dan Global
a)      Feminisme Multikultural
Multikultural adalah ideologi keberagaman budaya yang berada dalam satu ranah, yang dalam perjalanan kehidupannya rukun dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Multikultural menyenangi dan mendorong agar kultur yang sedang berlangsung dalam satu ranah tersebut, tidak saling mengucilkan atau tak acuh. Multikutural mendorong untuk saling peduli dan saling menghargai perbedaan, ras, etnis, dan warna kulit misalnya.
Perempuan, dalam kehidupannya merasa teropresi oleh kaum-kaum misalnya patriarki, atau malah oleh kaumnya sendiri sebagai perempuan. Awal mula Feminisme multikultural berhubungan dengan pemikiran multikultural, yaitu suatu ideologi yang mendukung keberagaman, yang saat ini sangat diminati di Amerika Serikat. Kesatuan adalah tujuan dari generasi sebelumnya, yang menyebutkan bahwa Amerika Serikat merepresentasi ide e pluribus umum yakni “berbeda tapi tetap satu”. Menurut Budiman (2005) dalam jurnalnya yang berjudul Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksidalam Hayat, bukan hal yang mudah untuk membayangkan suatu titik temu antara gerakan feminis dan gerakan multikultural, kendati telah banyak diperlihatkan dalam berbagai bentuk dan forum bahwa keduanya bukan hanya selaras namun juga tidak berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, karena feminisme secara konsisten senantiasa memperjuangkan kesetaraan gender, yakni posisi dan peran yang sama antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh bias gender, sesungguhnya feminisme sedang mencoba membawa perubahan pada kultur patriarki yang monolitik dan, dengan demikian, merupakan komponen dari agenda multikultural yang marak di segala aspek.
Feminisme multikultural memusatkan perhatian pada pandangan bahwa di dalam satu Negara seperti Amerika, tidak semua perempuan diciptakan atau dikonstruksi secara setara. Tergantung bukan hanya pada ras dan etnis, tetapi juga pada identitas seksual, identitas gender, umum, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan atau profesi, status perkawinan dan masih banyak lagi. Feminism multikultural di Amerika, yang mengkritik pemikiran mainstream feminis yang tidak memasukkan kepentingan perempuan marginal, disebut juga dengan feminisme ‘perempuan berwarna’. Multikultural secara umum didefinisikan sebagai gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai keberagaman sebagai prinsip utama dan menekankan semua kelompok kultural harus diperlakukan setara dan terhormat. Gagasan ini berangkat dari kecendrungan imigran awal di Amerika yang meninggalkan identitas awal dan hendak menjadi “Amerika” sebagai identitas baru mereka. Tetapi pemikiran ini ditinggalkan karena mereka kemudian melihat Amerika sebagai sebuah keberagaman, bukan identitas baru yang tunggal. Gagasan multikultural justru “keberagaman” di atas “kesatuan”. Masyarakat tidak terdiri atas mayoritas dan minoritas tetapi pluralitas berbagai macam kelompok yang tidak saling mendominasi. Dalam konteks ini, gerakan feminis kemudian melihat bias perempuan kulit putih, kelas menengah terdidik, heteroseksual dan mengabaikan perempuan imigran, kulit berwarna, lesbian, kurang pendidikan (Rokhmansyah, 2016: 57-58).
Feminisme multikultural lahir karena pemikiran feminis yang sudah ada tidak mengakomodasi seluruh relitas perempuan. Dalam Negara yang sama, perempuan tidak dikonstruksikan secara sama. Ada blue-print berkenaan dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan masing-masing yang membentuk kondisi dalam situasi perempuan. Feminisme seharusnya dapat mengaku dan mewadahi keberagaman ini, dengan tidak menempatkan satu standar untuk keseluruhan, karena operasi terhadap perempuan tidak hanya dalam relasi seks, dan gender saja tetapi merupakan hubungan keterkaitan antara sistem seks atau gender, ras, kelas, latar belakang pendidikan, orientasi seksual, agama (praktik penafsiran agama) dan juga stereotip yang berlaku. Sebagai contoh yang cukup ekstrim, opresi terhadap perempuan kulit hitam di Amerika sangat mungkin berbeda opresi terhadap perempuan kulit putih. Perempuan kulit putih, misalnya, harus menghadapi dua opresi, opresi yang berkenaan dengan sistem seks dan gender juga opresi kelas warna kulitnya. Perempuan kulit hitam juga teropresi karena warna kulitnya (Nugroho, 2011: 83-84).
Feminisme multikultural, biasa didefinisi sebagai gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai keberagaman sebagai suatu prinsip dasar. Multikulturalisme menuntut bahwa semua kelompok kebudayaan harus diperlakukan dengan penuh penghargaan dan sebagai orang yang setara. Namun berangkat dari pengertian hingga pergerakannya, pada akhir tahun 1980-an dan sepanjang tahun 1990-an feminise multikultural menghadapi banyak kritikan . dari semua argumentasi yang menentang multikulturalisme, arguman yang menekankan pada kecenederungan bahwa multikultural dapat melemahkan solidaritas adalah yag paling kuat. Misalnya Joseph Raz, yang juga merupakan pendukung multikulturalisme, mengakui argumentasi pengkritiknya: “tanpa perasaan solidaritas yang dalam, masyarakat politis akan terdisintegrasi ke dalam faksi-faksi yang saling bertikai. Solidaritas diperlukan jika orang ingin memperdulikan keberuntungan yang lian dan bersudia berkirban untuk orang lain. Tanpa kemauan  seperti itu, kemungkinan untuk menciptakan masyrakat politik yang damai akan lenyap”. para pengkritik multikulturalisme bersikeras bahwa label-label seperti misalnya african-american, Asian American, hispanic American, dan native American bersifat membahayakan karena akan memecah-belah. Para pengkritik ini menginginkan suatu Amerika yang homogen, dan “American American” Amerika yang Amerika (Tong. 1998:
Dalam awal mulanya, feminis multikultural lebih membahas bagaimana kehidupan perempuan di Amerika, seperti bagaimana perempuan berkulit putih khususnya mengalami opresif dari perempuan berkulit putih. Inilah penolakan-penolakan yang dilakukan para pelaku feminis ini, dimana mereka menuntuk agar ada kesetaraan dalam hal apapun ketika kasus itu masih dalam ranah keperempuanan.
b)      Feminisme global
Feminisme global berfokus pada hasil kebijakan dan praktek kolonial dan nasionalis, dimana “pemerintah” dan “bisnis besar” membagi dunia menjadi dua: Dunia Pertama (maju/berpunya) Dunia Ketiga (berkembang/tak berpunya) (Tong 1998:330). Tong melanjutkan, Feminisme ini menekankan bahwa opresi terhadap perempuan di satu bagian di dunia sering disebabkan oleh apa yang terjadi di dunia yang lain. Bagi feminis global, hal yang personal dan politis adalah satu. Perbedaan bukan saja ditoleransi, tetapi juga harus dilihat sebagai sumber penting dari polaritas yang memungkinkan letupan kreatifitas muncul. Feminis global menekankan, perempuan harus memahami pemikiran perempuan lain dan percaya perempuan lain juga dapat memahami pandangannya. Di antara perbedaan yang menjadi bahasan feminisme global adalah kecenderungan sebagian perempuan untuk menekankan isu ekonomi dan politik. Pada tahun 1975, PBB mendeklarasikan tahun 1975-1985 sebagai Dasawarsa Perempuan.
Meskipun feminis global bersikeras bahwa semua perempuan saling berkaitan mereka memperingatkan bahwa untuk memahami apa yang menyatukan perempuan semua bersama perempuan harus pertama-tama memahami apa yang membedakan mereka. Perempuan tidak dapat bekerja sama sebagai manusia yang sejajar untuk menyelesaikan isu-isu yang berhubungan dengan mereka kecuali jika perempuan pertama-tama menyadari kedalaman perbedaan mereka menurut Audre Lorde ketika seseorang feminis berjalan ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan perempuan dari berbagai penjuru dunia, ia mungkin tidak ingin dikonfrontasi ihwal perbedaannya dengan perempuan lain. Bagi Lorde gagasan mengenai “persaudaraan perempuan” terlalu mengancam jika hal itu berfokus kepada keragaman perempuan, karena itu ia lebih bersikeras untuk berfokus pada kesatuan perempuan. Lorde menekankan bahwa adalah perilaku seperti ini yang dapat menjelaskan ketidakmampuan feminis dalam memperjuangkan bentuk aliansi yang diperlukan untuk menciptakan dunia yang lebih baik (Tong 1998:333)
Bahwa perempuan berbeda dan bahwa mereka mempunyai prioritas yang berbeda adalah Doktrin feminisme global prinsip lainnya adalah pandangan bahwa bergantung dimana kapan bagaimana dan dengan siapa perempuan itu hidup akan membentuk operasi yang unik terhadap seseorang perempuan yang berbeda dengan operasi yang dialami perempuan lain yang hidup dalam lingkungan yang sama semua ini mengisyaratkan bahwa untuk menjadi seorang pemilih Global seseorang harus pertama menjadi feminis
Tertarik pada pandangan bahwa yang banyak perlu menggantikan yang satu feminis Global berteori bahwa dengan menyetarakan penalaran relativisme etis Teori yang menyatakan bahwa pertimbangan etis hanya dapat diterapkan pada waktu dan tempat pertimbangan itu muncul perlu menggantikan absolutisme etis Teori yang menyatakan bahwa pertimbangan etis berlaku setiap waktu dan pada setiap tempat. Tetapi hal ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Relativisme etis menghadirkan ancaman serius terhadap feminisme misalnya Nias dan Silva menyatakan penggabungan relativisme etis mengimplikasikan bahwa feminis Global harus menerima bahkan kekerasan demikian juga lembaga dari kebiasaan yang Patria call dan eksploratif misalnya maskawin sunat terhadap perempuan sistem kasta di India jika perbedaan ini disikapi secara ekstrem sikap ini akan menyebabkan kita kehilangan perspektif dari semua kesamaan yang dapat membuat komunikasi semakin tidak mungkin dengan perkataan lain gagasan mengenai perbedaan membuat komunikasi antara perempuan dari suatu kebudayaan dengan perempuan lain dari kebudayaan yang lain tidak mungkin feminis Global harus melupakan rencana mereka untuk membangun tatanan dunia baru tatanan seperti itu tidak mungkin dan juga tidak diinginkan karena jika orang begitu berbeda orang tidak dapat memahami perkataan yang lain (Tong 1998:347-348)

Feminisme multikultural dan global menghadirkan tantangan kepada dunia feminisme bagaimana menyatukan perempuan dalam, melalui, alih-alih perbedaan mereka. Secara umum, feminis multikultural dan global telah menawarkan dua cara kepada perempuan untuk mencapai kesatuan di dalam keberagaman. Pada prinsipnya, perempuan mencari hal yang sama yaitu “diri” (identitas diri dan kebebasan menjadi diri sendiri). Feminisme global dan multikultural menuntut setiap perempuan di dunia harus dapat membayangkan bagaimana kehidupan perempuan lain dan belajar untuk bersikap toleran atas perbedaan.


2.      Tokoh-tokoh feminis Multikulturalisme dan Global

Elizabeth Spelmann berusaha menjelaskan alasan atas kegagalan feminisme tradisonal. Feminsme tradisional seringkali gagal membedakan antara kondisi perempuan kulit putih kelas menengah heteroseksual Kristen yang tinggal di negara yang maju dan kaya dengan kondisi yang sangat berbeda dari perempuan lain yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Dalam Perkiraannya teori feminis tradisional salah jalan karena mereka berpikir bahwa mereka dapat mengatasi opresi terhadap perempuan dengan menyederhanakan pandangan atas kesamaan perempuan terhadap laki-laki dan kesamaan antar perempuan Spelmann melanjutkan para teori feminis tradisional itu berargumentasi bahwa jika semua manusia adalah sama maka semua manusia adalah setara, tidak ada seorangpun yang lebih “Superior” atau “inferior” daripada yang lainnya. Untunglah, lanjut Spelmann teori feminis tradisional tidak menyadari bahwa adalah juga mungkin untuk mengopresi manusia dengan menegasikan perbedaan manusiawi suatu hal yang sama opresinya dengan menegasikan kesamaan manusiawi dengan mengacu kepada operasi terhadap perempuan pada khususnya.
Spelman menjelaskan pendapatnya mengenai perbedaan dan kesamaannya sebagai berikut: “pendapat mengenai perbedaan di antara perempuan dapat beroperasi secara opresif jika seseorang menandai perbedaannya dan kemudian beranggapan bahwa satu dari kelompok itu yang sangat berbeda adalah penting atau lebih manusiawi dari yang lain atau dalam beberapa hal lebih baik daripada yang lain. Tetapi dari sisi lain menekankan kesatuan perempuan juga bukanlah suatu jaminan terhadap tidak adanya pengurutan hirarkis jika apa yang dikatakan seorang itu benar atau karakteristik dari beberapa orang sebagai suatu kelas adalah benar adanya atau karakteristik dari beberapa perempuan dianggap benar itu artinya perempuan yang tidak dapat dikarakteristikkan dianggap bukan perempuan. Ketika Stanton mengatakan bahwa perempuan harus mempunyai hak pilih lebih dahulu dibandingkan orang-orang Afrika Cina Jerman dan Irlandia Iya secara jelas telah melandaskan pendapatnya pada konsep tentang perempuan yang membutuhkannya dari “keperempuan” dan dari banyak perempuan” (Tong. 1998:314).
Audre Lorde sebagai seorang sosialis feminis, lesbian kulit hitam berusia 49 tahun Ibu 2 anak termasuk 1 anak laki-laki, dan bagian dari pasangan berbeda ras. Ia memiliki konsep “bahaya berlapis” karena ia biasanya mendapatkan dirinya sebagai bagian dari kelompok tertentu yang di definisi sebagai Lian menyimpang inferior atau dengan sangat mudah didefinisi sebagai seorang yang salah untuk mengatasi peminggiran seperti ini menurut Lorde adalah tidak dengan ”mencomot sembarangan” aspek dari diri sendiri dan menyajikannya sebagai keseluruhan yang bermakna seolah-olah seseorang dapat menyelesaikan semua masalah secara sederhana dengan melawan rasisme atau seksisme atau kelasisme atau homofobia atau ableisme. Lorde mengalami alienasi lebih jauh setelah ia menjalani mastektomi, sebaliknya cara untuk mengatasi kelainan seseorang adalah dengan mengintegrasikan semua bagian dari diri saya secara terbuka membiarkan kekuatan dari sumber tertentu dalam kehidupan saya untuk mengalir ke segala arah dengan bebas melalui diri-diri yang berbeda tanpa pembatasan berdasarkan definisi yang dibeberkan dari luar. Lorde menegaskan bahwa ia berjuang secara tidak diskriminatif terhadap segala kekuatan operasi termasuk bagian dari operator di dalam dirinya prioritasnya yang satu dan satu-satunya adalah menciptakan suatu masyarakat yang didalamnya setiap orang adalah benar-benar setara Dunia tempat kata perbedaan tidak berarti inferior melainkan

Patricia Hill Collins berargumentasi bahwa di Amerika Serikat opresi terhadap perempuan kulit hitam disistermasikan, dan distrukturkan sejalan dengan tiga dimensi yang saling berhubungan meliputi: Pertama, dimensi ekonomi dari opresi terhadap perempuan kulit putih menyingkirkan perempuan kulit  hitam ke dalam ”ghetoisasi dalam jenis-jenis pekerjaan sektor pelayanan”. Kedua, dimensi politis dari opresi terhadap perempuan kulit hitam mengabaikan hak dan fasilitas bagi perempuan kulit hitam, yang secara rutin diberikan kepada kepada semua laki laki kulit putih dan banyak perempuan kulit putih, termasuk hak yang sangat penting untuk memperoleh pendidikan yang setara. Ketiga, dimensi ideologis dari opresi terhadap perempuan kulit hitam, pemaksaan sekumpulan “citra pengontrol” yang berlaku bagi dan membatasi kebebasan perempuan kulit hitam. Dimensi ini memjelaskan dan membenarkan perlakuan laki laki kulit putih dan (dalam tingkat yang lebih rendah) perempuan kulit putih terhadap perempuan kulit hitam. Collins berteori bahwa dimensi ideologis adalah lebih kuat dalam “mempretahankan” opresi terhadap perempuan kulit hitam dibandingkan dengan dengan dimensi ekonomi ataupunt politik, ia menyatakan bahwa opresi berdasarkan ras, kelas, dan gender tidak dapat berlangsung  tanpa pembenaran ideologis untk keberadaanya dan menekan bahwa feminis kulit hitam harus berusaha untuk membebaskan perempuan afrika amerika dari label stereotipe seperti “mammy”, “matriark”, “penerima tunjangan sosial” dan “hit momma”.
Omolade menekankan bahwa seksisme di dalam komunitas kulit hitam harus dilawan. Ad waktunya ketika kepentingan perempuan  kulit hitam harus diangkat dari statusnya yang dilatarbelakangkan. Betapapun seriusnya kepentingan laki-laki kulit hitam, kepentingan perempuan kulit hitam lebih serius lagi (Tong :330). Ini merupakan komentar setelah Omolade melakukan analisis terhadap kasus Penjoggingan di central Park. Saat itu ada sekelompok laki-laki berkulit hitam memperkosa perempuan berkulit putih. Pada dasarnya, laki-laki berkulit hitam berkehidupan miskin, terancam, dipenjara, tidak terdidik, dan dilecehkan. Patriarki tenyata bukan hanya sebutan untuk laki-laki berkuasa pada perempuan, namun kasus pada saat Omelede berkomentar tu, bisa saja patriarki memperluas pengertiannya menjadi laki-laki berkuasa di atas laki, berdasarkan warna kulitnya.



3.      Perkembangan Feminisme Multikulturalisme dan Global
Telah dijabarkan di atas bagaimana gerakan feminis ini mulai menyita perhatian publik, adanya pengkategorian dan perbedaan service antara perempuan kulit hitam dengan kulit putih merupakan akar dari feminisme ini. Amerika sebagai dunia pertama menjadi objek segala sumber munculnya pemikiran-pemikiran tertindas yang dirasakan oleh perempuan berkulit hitan dan perempuan dunia ketiga.
Perempuan kulit putih yang pergi ke Negara-negara Asia, misalnya, sering juga mengalami pelecehan seksual karena ada stereotip bahwa perempuan kulit putih adalah penganut seks bebas. Sebaliknya, perempuan Asia terutama yang sedang berada di tempat-tempat hiburan di Negara-negara non-Asia (atau bahkan di beberapa Negara Asia), juga sering mengalami pelecehan seksual karena ia dianggap pekerja seks komersial yang memang sering di impor dari Asia ke Negara-negara “dunia kesatu” atau ke Negara apa saja yang lebih kaya daripada negaranya (Nugroho: 2011: 84)
Dewasa ini, ketertindasan terhadap perempuan secara kultur cukup tampak dengan jelas, kita bisa lihat bagaimana operasi plastik menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk mendapatkan tubuh dan wajah yang lebih baik. Di Korea, seorang memiliki wajah ”jelek” terkhusus perempuan akan di-bully habis-habisan, oleh karenanya tidak ada pilihan lain melakukan operasi plastik.
Operasi plastik menandakan adanya rasa ketidakterimaan atas apa yang telah tercipta dan ditakdirkan, perempuan diciptakan dengan wajah dan tubuh “jelek” merupakan bukan salah dari perempuan itu sendiri, namun oleh sosial malah di-bully dan diejek. Adalah pengaruh dari dunia pertama inilah yang merembes hingga pelosok dari dunia ketiga, meski bukan dengan operasi plastik, memotret diri (selfi) dengan kamera (mempercantik) menjadi tren di kalangan remaja dunia ketiga. Hal ini dipengaruhi oleh mind set bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kulit putih dan tubuh langsing seperti yang sering ditampilkan di televisi dalam drama korea dan girl band korea.
Mulanya, seperti penjelasan di atas, adanya generalis terhadap dua kubu perempuan yaitu kubu perempuan kulit putih dengan perempuan kulit hitam, berwarna, penyandang cacat dan sebagianya menjadi awal kemunculan dari feminis multikultural. Tidak berhnti di situ, kita masuk ke ranah Indonesia yang memiliki ragam suku budaya dan etnik. Rupanya permasalahan ras, kelas, dan sejenisnya tidak bisa berhenti di Amerika saja, di Indonesia kasus serupa sering dijumpai misalnya suku seperti yang tinggal di Papua identik dengan warna kulit hitam dan rambut kriting kerap kali bully, meski hanya berdalihkan bercanda. Suku dayak misalnya, pernah ada suatu cerita tentang “mereka rela memotong telinganya yang panjang agar tidak dioloki oleh suku yang bukan suk Dayak”. Hal demikian merupakan hal intim dari sebuah peradaban dimana kultur hangus oleh adanya kaum modern yang menjadi mayoritas pada suatu ranah daerah.
Satu lagi di Indonesia (sebenarnya masih banyak) yang saya bahas yaitu seleksi untuk masuk ke dalam suatu lapangan kerja. Pernah kita semua melihat dan membaca suatu poster dimana kriteria dan persyaratan untuk bisa masuk dan menjadi pekerja di suatu tenpat atau perushaan tertentu yaitu harus “berpenampilan menarik”. Kehidupan kapitalis dan ekonimis merupakan budaya kolonialisme, dimana perusahaan dan lapangan kerja merupakan percikan dan cerminan dari barat. Otomatis, sistem kerja dan apa-apa yang di di dalam lapangan kerja tersebut merupakan hasil pembelajaran dari barat. Lanjut, sebenarnya “berpenampilan menarik itu seperti apa?”, di Indonesia (di beberapa negara lain juga) seseorang yang dikatakan cantik dan gagah bisa dilihat dari warna kulitnya yang putih (putih menurut indonesia), dimana bila seseorang tidak memiliki warna kulit yang putik dianggap kurang cantik dan gagah. Kita juga bisa melihat artis dan aktor pertelevisian Indonesia, sangat jarang ditemukan aktor yang berkulit hitam. Ini menandakan ada seleksi secara terang-terangan mengenai seseorang untuk mendaptkan pekerjaan.
Hal-hal di atas sangat disanyangkan bila berkelanjutan hingga masa mendatang. Ada gerakan-gerakan perempuan multikultural yang patut di perhatikan, misalnya kelompok Ibu-ibu PKK yang tinggal pada suatu kampung, mereka mengumpukan diri dan kemampuan tetapi masalah ras dan kelas tidaklah diperhatikan. Dalam kegiatannya, Ibu-ibu PKK biasanya membikin suatu prakarya, kuliner dan sebagianya dalam berasaskan kebersamaan. Saling menghargai keberagaman dan saling melengkapi. Hal seperti inilah yang diinginkan feminisme multikulturan dan global “mereka sadar akan perbedaan, mereka sadar akan keberagaman”.


Daftar Pustaka
Budiman, Manneke . Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksidalam Hayat, Edi dan Surur, Miftahus (ed) . (2005). Perempuan Multikultural : Negosiasi dan Representasi . Jakarta : Desantara.
Kasiyan. 2008. Manipu; Asi Dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak
Nugroho, Riant. 2011. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thornham, Sue. 2010. Teori Feminis Dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra
Rokhmansyah, Alfian. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme. Yogyakarta: Garudhawaca.
Sugihastuti dan Istna Hadi Septiawan. 2010. Gender dan Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: pengantar paling kompherensif kepada aliran utama pemikiran feminis. Diterjemahan oleh Aquarini Priyanti Priyanti Prabasmoro. Yogyakarta: jalasutra





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH DRAMA

Makalah Penalaran

Rahasia Angka dalam Al Quran