FEMINISME PSIKOANALISIS

Feminisme Psikoanalisis
Pemberontakan Maia, Perempuan Sebelum Hawa dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin  M Dahlan

Secara umum, istilah ‘feminisme’ adalah menunjuk pada pengertian sebagai ideologi pembebeasan perempuan, karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Asiyan. 2008:73).
Strinati (2004; 228 dalam Muashomah 2010:146) berpendapat bahwa per-paduan analisis feminis dengan teori psikoanalisis, bertujuan menganalisis bagaimana dan mengapa laki-laki memandang representasi perempuan di dalam budaya populer masa kini, serta berbagai implikasinya bagi kekuasaan yang dimiliki laki-laki atas perempuan.
Tong (2006: 1990 dalam Wiyatmi 2012: 18) menjelaskan bahwa feminis psikoanalisis dan gender mengemukakan gagasan bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psikis perempuan, terutama dalam cara berpikir perempuan. Dengan mendasarkan pada konsep Freud, seperti tahapan oedipal dan kompleks oedipus, feminis psikoanalisis mengkalim bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka.
Feminisme psikoanalisis dalam pembahasannya, memiliki dasar pemikiran berupa penjelasan mendasar mengenai penindasan perempuan berada pada psike dan cara berfikir perempuan. Teori psikoanalisis yang dipelopori oleh pakar ilmu jiwa dalam yakni, Sigmund Freud. Dalam pandangan Freud, dalam tulisan yang berjudul Feminity (1974), diungkapkan bahwa pokok persoalan perbedaan antara laik-laki dan perempuan secara sosial, berpusat pada konsep ‘penis envy’ (iri kepada kelamin laki-laki). Dengan mendasarkan pada konsep Freud, seperti tahapan odipal dan kompleks oedipus, feminis psikoanalisis mengklaim bahwa ketidak- setaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka. Dengan berlandaskan pada konsep-konsep Freud, kelompok feminis ini menyatakan bahwa ketimpangan gender dari pengalaman masa kecil yang membuat perempuan melihat dirinya sebagai feminin, dan laki-laki sebagai maskulin dan pada saat yang sama menganggap bahwa feminitas lebih rendah daripada maskulinitas (Nugroho. 2011:77). Kenyataannya inilah yang menyebabkan anak-anak diarahkan untuk menerima nila-nilai maskulin dan merendahkan nilai-nilai feminin. Pengalaman tersebut juga mengakibatkan bukan saja cara masyarakat memandang dirinya sebagai feminin, melainkan juga cara demikian terkontaminasi dan masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah lebih baik dari femininitas.
Menurut feminisme psikoanalisis, pada saat seorang anak perempuan pertama kali melihat kelamin anak laki-laki, dia segera sadar punya kekurangan sesuatu, sehingga berkembanglah rasa iri hati untuk memiliki dan juga rasa rendah diri. Setelah dewasa dan menikah, keinginan untuk memiliki alat kelamin laki-laki tersebut, kemudian berubah wujud menjadi keinginan untuk memiliki bayi (khususnya laki-laki), sehingga kehidupannya menjadi tereduksi sangat dalam, dan akhirnya menjadi sosok yang lemah jika dibandingkan dengan laki-laki.

Teori Freud tersebut telah ditolak oleh para feminis, seperti Betty Fridan, Shulamit Firestone, dan Kate Millet. Mereka beragumen bahwa posisi serta ketidakberdayaan sosial perempuan terhadap laki-laki, kecil hubungannya dengan biologi perempuan, dan sangat berhubungan dengan kontruksi sosial atas feminitas (Tong, 2006: 196 dalam Wiyatmi 2012: 19). Dalam hal ini Freidan menyalahkan Freud karena telah mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa ketidaknyamanan serta ketidakpuasan perempuan berasal dari ketidakadaan penis saja dan bukan karena satatus sosial ekonomi, serta budaya yang menguntungkan laki-laki. Dengan mengisyaratkan kepada perempuan bahwa mereka dapat mengganti penis dengan bayi, menurut Freidan, Freud telah merayu perempuan untuk masuk kedalam jebakan mistik feminine. Oleh karena itu, Freidan menyalahkan Freud yang telah menjadikan pengalaman seksual yang sangat spesifik (Vaginalisme) sebagai keseluruhan serta akhir dari eksistensi perempuan (Tong, 2006: 197 dalam Wiyatmi 2012: 20). Freidan juga mengutuk Freud, karena telah mendorong perempuan untuk menjadi reseptif, pasif, bergantung pada orang lain, dan selalu siap untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan seksual mereka, yaitu hamil. Sementara itu, Millet menganggap pandangan Freud bahwa perempuan mengalami kecemburuan terhadap penis merupakan contoh transparan dari egoisme laki-laki. (Tong, 2006: 197-198 dalam Wiyatmi 2012: 20).

Makalah ini akan menganalisis karakter seorang tokoh perempuan bernama Maia dalam sebuah novel berjudul adam hawa karya muhidin M dahlan. Novel adam hawa karya muhidin dahlan secara singkat bercerita tentang tokoh bernama Adam – konon seorang manusia pertama yang pertama diciptakan oleh Tuhan. Kehidupan adam sangat sombong dan arogan karena statusnya sebagai putera tuhan, ia memperlakukan kurcaci pembantunya dengan sekehendak tanpa memikirkan baik atau buruk mengenai perintah yang ia berikan – kemudian  hari para kurcaci itu musnah di tangan adam.
Sebagai putera tuhan, Adam bertanya-tanya pada malaikat mimpi apakah ia diciptakan tuhan hanya sendirian. Kehidupannya dilewati dengan kesepian di dalam rumah batu miliknya, tidak jarang juga setiap sore ia pergi ke teman dan duduk di bawah pohon guldi untuk memandangi senja yang perlahan memudar.
Pada suatu hari, seperti yang telah diceritakan malaikat mimpi di dalam mimpinya, akhirnya adam pun memiliki teman sesama manusia yang meliki banyak persamaan bentuk tubuh selaina pada bagian tertentu. pada akhirnya adam mengetahui Maia adalah nama manusia tersebut.
Setelah kehadiran maia, kehidupan mengalami perubahan dari kebiasaannya yang suka termenung menjadi seorang yang ceria. Sehari-hari ia habiskan waktunya dengan maia denngan maia, bercumbu, dan lain-lain di dalam rumah batu yang ia bangun bersama kurcaci pembantunya pada tempo hari.
Pada suatu hari, tibalah keinginan maia untuk berganti posisi ketika sedang bercinta. Maia tidak ingin selalu berada di bawah, namun karena sifat adam yang sombong dan arogan menolak permintaan maian. Akhirnya pada suatu malam, maia melawan adam dan kabur dari rumah batu. Demikianlah adam kembali menjadi manusia pemurung yang berdoa agar ia mendapat pengganti maia.
Kemudian, muncullah hawa, perempuan penurut yang tercipta berkat doa-doa yang telah dipanjatkan adam selama beberapa waktu setelah ditinggal maia. Di lain tempat pun maia menemukan Idris, seorang laki yang menuruti seluruh keinginan maia. Lewat idris, maia menginnkan seorang anak laki-laki, namun pada akhirnya maia melahirkan seorang anak perempuan bernama marfu’ah, yang kemudia berhasil membunuh adam berkat latihan yanng telah diberikan oleh ibunya untuk menjadi pembunuh adam.
Akibat kekuasaan dan dominasi kaum maskulinitas, lahirlah keinginan-keinginan dari kaum feminin, di antaranya dirangkum menjadi tiga poin di bawah ini yaitu:
Keinginan setara dalam berhubungan seks (penis envy)
Dengan mengubah obyek cinta dari ibu kepada ayah, maka perempuan pemuasan seksualnya pun berubah dari klitoris ke vagina. Serupa dengan penis (meskipun telah dikastrasi), klitoris dalam pandangan Freud adalah seksualitas aktif. Sedangkan vagina adalah sesuatu yang pasif, yang membutuhkan penis untuk mencapai kepuasan. Jadi ketika anak perempuan mengalihkan obyek cinta kepada laki-laki, ia kehilangan maskulinitasnya (aktif) dan mulai mengambil nilai-nilai feminin (pasif).

Dalam novel AH, tokoh Maia merasa bosan dan lelah karena dibuat pasif oleh Adam. Oleh karenannya, Maia menginginkan sesekali untuk berganti posisi bercinta, seperti dalam kutipan di bawah ini:

“Aku ingin kita berganti posisi adam. Aku lelah dan sungguh lelah berada di bawah. Tak merasakan apapun selain dengusan napasmu yang bau sampah, yang terus memburu setelah puluhan kali aku kau sentak-sentak” (Dahlan, 2005:44)
Dan satu lagi perjanjian yang di sepakati idris, perjanjian yang sungguh aneh dan kejam, tapi entah kenapa isdrin menyanggupinya. Perjanjian terahir itu adalah bahwa daging tunjang idris yang terbiasa menegak bila melihat maia mengangkang itu harus dirubuhkan kalau ternyata anak yang lahir adalah perempuan (Dahlan, 2005:93)

Perempuan oleh Freud, dipandang sebagai sosok yang yang pasif. Namun dengan bagitulah perempuan itu berhasil menjadi perempuan yang perempuan seperti menjadi ibu rumah tangga yang wilayah kerjanya seputar domestik.
Pandangan Freud yang sangat pesimis terhadap perempuan dapat dilihat dalam teorinya mengenai  kecemburuan terhadap penis (penis envy). Kecemburuan ini muncul ketika anak perempuan melihat bahwa ia tidak memiliki penis. Kelak saat dewasa, kecemburuannya ini membuatnya menginginkan bayi sebagai pengganti penis. Menjadi ibu dan melahirkan. menurut Freud, dapat menggantikan kehilangan penis yang dialami perempuan. Apalagi jika anaknya adalah laki-laki, yang dapat dijadikan si ibu sebagai realisasi ambisinya yang telah ditekannya ketika ia harus mengalihkan kepuasan klitoris (aktif, maskulin) ke vagina (pasif, feminin).

Keinginan diperhatikan
Bahkan sekalipun penis dapat digantikan dengan bayi, kecemburuan terhadap penis itu sendiri memiliki konsekuensi jangka panjang pada perempuan. Freud menyebutnya sebagai sisa-sisa/residu dari kecemburuan terhadap penis (residual of penis envy). Residu ini muncul dalam tiga bentuk. Pertama, perempuan akan menjadi narsis, yaitu terokupasi pada diri. Ia memiliki keinginan kuat untuk dicintai, suatu keinginan yang bersifat pasif karena ia telah mengalihkan tujuan seksualnya dari klitoris aktif ke vagina yang pasif. Kedua, perempuan akan mengalami kekosongan dengan berfokus pada penampilan fisik. Penampilan fisik yang menarik dijadikannya alat untuk menutupi kekurangannya atas penis yang tidak dimilikinya. Terakhir, perempuan memiliki rasa malu yg dibesar-besarkan. Penis enevy melihat bahwa perempuan mengalami kecemburuan karena tidak memiliki penis, dan karena itu, perempuan dipaksa untuk habis-habisan berkosentrasi pada penampilan fisiknya agar dapat dicintai dan mendapat perhatian (Nugroho. 2011:78)
Dalam kutipan di bawah ini dibuktikan bahwa Maia merupakan perempuan yang ingin diperhatikan meski tidak diperlihatkan secara perilaku.

Di malam yang senyap itu, maia si perempuan memakai harum-haruman dari dau semak rakasia yang ditumbuk dan dihaluskan. Daun itu menanamkan wangi dalam setiap pori-pori maia si perempuan. (Dahlan, 2005:44)

“kau tahu adam?, siang malam tak berjumlah, aku tiada lain tak pernah merasa mendapat cinta. Aku jadi sandra yang tak boleh melihat dan disentuh matahari. Bukankah itu kehidupan yang terkudut?” (dahlan. 2005: 48)


Tidak bisa kita pungkiri bahwa perempuan sangat ingin diperhatikan dan dicintai yang lebih. Di zaman milenial ini media sosial kerap menampilkan konten-konten tentang sikap perempuan terhadap lawan jenisnya. Misalnya pada akun-akun meme yang bisa hadir di beranda dan time line media sosial, akun-ini kerap menghadirkan bagaimana perempuan susah di mengerti. Kata “terserah” yang menjadi persoalan dan masalah terbesar bagi kaum lawan jenis perempuan. Dengan kata “terserah” kaum laki-laki dibuat berpikir untuk memehami apa yang diinginkan oleh lawan jenisnya. Begitulah perempuan menunjukkan rasa ingin dipahami dan ingin dicintai.

Keinginan memiliki bayi  laki-laki
Pandangan Freud yang sangat pesimis terhadap perempuan dapat dilihat dalam teorinya mengenai  kecemburuan terhadap penis (penis envy). Kecemburuan ini muncul ketika anak perempuan melihat bahwa ia tidak memiliki penis. Kelak saat dewasa, kecemburuannya ini membuatnya menginginkan bayi sebagai pengganti penis. Menjadi ibu dan melahirkan. menurut Freud, dapat menggantikan kehilangan penis yang dialami perempuan. Apalagi jika anaknya adalah laki-laki

“Aku ingin kau tanamkan benih ijajil dalam perutku. Cuma itu harapanku dan sekaligus alasanku kenapa aku mau kawain denganmu idris” (Dahlan, 2005:78)
“malam ini, sepuluh hari setelah darah keluar dari lubang kecil yang mebuatku dinamai perempuan, kuingin kau melakukan tugasmu. Naiki aku malam ini. Beri aku anak. Anak laki-laki. Kuingin kau bekerja sekuat-kuatmu untuk lakukan itu” (Dahlan, 2005:84)

Psikoanalisis merupakan suatu tahap untuk memahami pemebntukan kesadaran dan sejarah, terutama yang berkaitan dengan penentuan kesadaran akan jenis kelamin (Irigaray, 2005: 10). Psikoanalisis dapat memberi bantuan besar untuk membebaskan kaum perempuan dari budaya patriarki, jika saja psikoanalisis tidak mendefinisikan perempuan sama dengan tidak menjadi laki-laki. Baik dalam teori, maupun praktiknya psikoanalisis mengajarkan bahwa menjadi perempuan tidak lebih baik daripada menjadi laki-laki melalui teori penis-envy. Pembebasan perempuan bukan berarti “menjadi laki-laki” atau iri pada benda maskulin, tetapi perempuan harus mengembalikan nilai gender kepada dirinya sendiri serta subjektivitasnya sebagai seorang perempuan (Irigaray,2005 : 93)
Maskulinitas sebagai norma merupakan perkembangan yang terjadi karena masyarakat tempat hidup perempuan dan laki-laki adalah masyarakat patriarikal. Feminisme psikoanalisis dan gender menyarankan agar dilakukan usaha-usaha untuk menciptakan masyarakat yang lebih androgen sehingga sifat-sifat manusia yang hidup di dalamnya lebih merupakan gabungan antara sifat positif feminin dan maskulin (Nugroho. 2011:78)
Teori ini tidak seperti teori feminisme sebelumnya (liberal, radikal, marxis, dan sosialis), menelusuri ketimpangan relasi gender dari pola-pola yang terbentuk di alam bawah sadar manusia. Maskulinitas dan feminitas terbentuk sejak dini, pola-pola yang begerak di bawah sadar membentuk perempuan dan laki-laki dalam menjalani hidup dan hubungan dengan orang lain. Konsep psikoanalisis Freud sudah sering dikecam dan dikritik karena dianggap sangat deterministik. Bagi Freud anatomy is destiny. Inferiroritas perempuan dijelaskan dengan menunjukka betapa pasifnya antomi permpuan, bahkan perempuan harus melepaskan klitoritasnya (yang lebih aktif dalam pemenuhan kebutuhan seksual perempuan) dan menerima hubungan seks dengan mempergunakan vagina. Pemikirannya juga sering dianggap bias laki-laki, dan bias budaya. Dengan teori ‘penis-envy’, Freud menggambarkan inferioritas perempuan dan kurangnya motivasi perempuan karena perempuan tidak mempunyai penis. Salah satu penolakan datang dari Margaret (1974), yang mengatakan bahwa teori Freud tidak dapat diterapkan dalam kerangka budaya yang lain karena banyak budaya menunjukkan womb-envy dan bukannya penis-envy. Kedua konsep itu sebenarnya menarik. Kita dapat memanfaatkan untuk menganlisis situasi yang berbeda dari motivasi yang berlainan antara laki-laki dan perempuan (Nugroho. 2011:78-79)


Daftar Pustaka
Dahlan, Muhidin M. 2005. Adam Hawa.Yogyakarta: Scriptamanent
Pranowo Yogie. 2013. Identitas Perempuan Dalam Budaya Patriarkis:  Sebuah Kajian Tentang Feminisme Eksisten-5sialis Nawal El Sa'adawi Dalam Novel “Perempuan Di Titik Nol” . Yogyakarta: Melintas
 Muashomah. 2010. Analisis Labelling Perempuan Dengan Teori Feminisme Psikoanalisis: Studi Kasus Majalah Remaja Olga!. Jawa Tengah: Jurnal Komunitas
Nugroho, Riant. 2011. Gender Dan Strategi Pengarus-Utamaanya Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kasiyan. 2008. Manipu;Asi Dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak
Thornham, Sue. 2010. Teori Feminis Dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra
Wiyatmi. 2012. Keritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Ombak

Komentar

Unknown mengatakan…
According to Stanford Medical, It is really the SINGLE reason this country's women get to live 10 years more and weigh an average of 19 KG less than we do.

(And actually, it is not about genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING around "HOW" they are eating.)

BTW, I said "HOW", and not "WHAT"...

Tap on this link to reveal if this short test can help you unlock your true weight loss possibilities

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH DRAMA

Makalah Penalaran

Rahasia Angka dalam Al Quran