Feminisme dalam “Cerpen Pohon Api” dan “Kekayi” karya Oka Rusmini
Feminisme tidak pernah berhenti mejadi bahan
menarik untuk dibicarakan. Baik aksi nyata maupun ditulis secara fiksi,
feminisme maenjadi bahan akademisi yang dibicarakan di ruang kuliah hingga
seminar yang cukup besar.
Feminisme hadir sebagai gagasan dalam
pembebasan dalam pengopresian perempuan oleh budaya patriarki. Feminisme berbicara
bagaimana para perempuan keluar dari kekukungan menuju ruang bebas dan menjadi “ada”.
Feninisme memiliki aliran-aliran dengan tokohnya masing-masing. Setiap aliran
membicarakan bagaimana permpuan teropresi dan bagaimana cara untuk keluar dari
tempat tersebut.
Kali ini akan dibahas dua aliran feminisme,
yaitu eksistensialis dan psikoanalisis dengan bermediakan kedua cerpen karya
Oka Rusmini yang berjudul Pohon Api dan Kekayi. Kedua cerpen ini bercerita
tentang tokoh Kekayi, seorang perempuan yang memiliki kecantikan bak istri para
dewa. Ia menggunakan kecantikannya sebagai senjata untuk menguasai lelaki:
Aku
suka sekali menggunakan kecantikanku untuk berkuasa. Para panglima di kerajaan
mengajariku berkuda, kadang menggunakan tombak untuk berburu. Apa pun yang
kuinginkan, para lelaki selalu datang membantuku. (pohon
Api)
...
“Aku
akan membuang semua istriku jika kau mau ikut denganku, Kekayi. Perempuan
tercantik melebihi kecantikan istri para dewa. Hidupku kembali bergairah lagi
melihatmu. Mintalah apa saja! Aku adalah raja dari kerajaan besar. Keputusanku
adalah hukum. Akulah yang menentukan hidup-mati rakyatku. Ikutlah denganku, kau
akan kujadikan ratuku!” (Pohon Api)
Dari kaca mata penulis, cerpen Pohon Api dan
Cerpen Kekayi merupakan sekuel, maka dari itu penulis sengaja tidak memisahakan
penganalisaan terhadap keduanya.
1.
Feminisme
eksistensialis
Alfian Rokhmansyah dalam buku Pengantar
Gender dan Feminisme, menjelaskan bahwa
feminisme eksistensialis mengajak perempuan untuk menolak segala bentuk opresi,
baik itu melalui nilai budaya, kondisi sosial, ekonomi, dan lain-lain yang
mendiskriminasikan perempuan atas hak serta kebebasannya dan bisa menghilangkan
sisi keberadaaan dan eksistensinya sebagai manusia (Rokhmansyah 2016:56).
Perempuan sadar akan keberadannya, perempuan
harus keluar dari kekangan buadaya patriarki, perempuan juga punya dan bisa berkuasa.
Kekayi dalam cerpen karya Oka Rusmini pun begitu. Ia memiliki kesadaran akan
kecantikannya yang bisa membuat siapa saja menghamba padanya. Seperti dalam beberapa
kutipan di bawah ini
Sejak
tubuhnya mulai tumbuh, Kekayi sangat sadar akan kekuasaan yang dimilikinya.
Kekayi, sangat mengagumi bentuk tubuhnya. Tubuh yang lebih indah daripada
sebatang pohon, pohon yang tumbuh dekat jendela kamarnya (pohon Api).
...
“Sumber
kekuatan terbesar dalam hidupku hanyalah kecantikan dan kemudaan.” Kata-kata
itulah yang selalu diselipkan Matara kepadaku (Pohon Api)
...
Aku
suka sekali menggunakan kecantikanku untuk berkuasa. Para panglima di kerajaan
mengajariku berkuda, kadang menggunakan tombak untuk berburu. Apa pun yang
kuinginkan, para lelaki selalu datang membantuku. (pohon Api)
...
Mata
itu mampu mengatur hidupnya, sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Dialah
perempuan yang sadar bahwa tubuh perempuan adalah alat, tepatnya senjata mematikan!
Jika perempuan mampu memainkan dengan baik dan penuh percaya diri, tubuh itu
bernama: kekuasaan! (kekayi)
Menurut Beauvoir (dalam Tong, 1994:274-275), ada empat
cara untuk menuju transendensi, yaitu:
1. Perempuan dapat
bekerja. Betapa pun keras dan melelahkannya pekerjaan perempuan, pekerjaan
masih memberikan berbagai kemungkinan bagi perempuan, yang jika tidak dilakukan
perempuan akan menjadi kehilangan sama sekali. Dengan bekerja di luar rumah
bersama dengan laki-laki, perempuan dapat “merebut kembali transendensinya”.
Perempuan akan “secara konkret menegaskan statusnya sebagai subjek, sebagai
seseorang yang secara aktif menentukan arah nasibnya.
2. Perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok yang
akan membangun perubahan bagi perempuan. Kegiatan intelektual merupakan
kegiatan berpikir, melihat, dan mendefinisi, dan bukanlah nonaktivitas ketika
seseorang menjadi objek pemikiran, pengamatan, dan pendefinisian.
3. Perempuan dapat
bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat, yaitu berakhirnya
konflik Subjek-Objek, Diri-Liyan di antara manusia, khusunya antara laki-laki
dan perempuan
4. Perempuan dapat menolak menginternalisasi ke-Liyanannya—yaitu dengan
mengidentifikasi dirinya melalui pandangan kelompok dominan dalam masyarakat.
Menerima sebagai Liyan adalah menerima status sebagi objek.
Dalam buku The
Second Sex, sebuah karya Simone De Beavoir yang cukup banyak memberi jawaban
tentang makna feminisme Eksistensialisme, dijelaskan bahwa perempuan yang tidak mandiri
tak mungkin mendapatkan hak-hak istimewa baik secara seksual dan perasaaan
kasih sayang. Seorang perempuan yang menghabisakan energinya yang memiliki
banyak tanggung jawab yang mengetahui betapa keras perjuangan melawan
penentangan dunia, memerlukan seperti halnya laki-laki tidak hanya untuk
memuaskan kebutuhan fisiknnya, seperti
halnya laki-laki tetapi juga menikmati relaksasi dan keragaman yang disediakan
oleh seksual yang dapat diterima (Beavoir 1994:584).
Kekayi melatih
dirinya untuk menjadi kuat demi menyembunyikan kelemahannya, ia mempersiapkan
dirinya sebagai tempat lahirnya raja-rajabesar.
Banyak
lelaki datang, ingin melamarnya. Kekayi tak ingin harta. Yang dia inginkan
adalah kekuasaan. Kekuasaanlah yang kelak dikenang orang-orang yang menandakan
dirinya pernah ada dan tumbuh di dalam kehidupan ini. Tubuhnya dipersiapkan
untuk melahirkan raja-raja besar dan berkuasa dalam sejarah (pohon Api).
...
Suatu
pagi, dia meremas dada Kekayi, menepuk bokongnya sambil tertawa, bersama para
pengawal dan saudara-saudara lelakinya. Kekayi menggunakan bagian ujung tangan
– bagian yang bersentuhan langsung dengan objek – untuk memukul objek. Semakin
kecil dan semakin mudah untuk meremukkan objek. Itu petunjuk dari gurunya.
Kekayi pun mempraktikkan dengan riang teknik melumpuhkan lawan itu. Hasilnya,
gigi calon raja itu rompal. Tangan kanannya patah. Leher terkilir.
Sejak
itu, lelaki bertubuh badut itu tak berani menyentuh dan menatapnya (Kekayi).
Secara sederhana, Simone
De Beavoir dalam buku “The Second Sex” tentu secara tegas mengemukakan
gagasan-gagasan yang pernah ia kemukakan mengenai eksistensialis karena telah
melihat problem yang terjadi dalam rumah tangga. Perempuan hanya jadi
pelampiasan hasrat laki-laki setelah kelelahan bekerja, dan ketika hasrat
laki-laki timbul . Walaupun persoalan ini adalah sesuatu yang sudah lumrah
terjadi dan itu telah menjadi bagian dari perempuan (istri), secara tidak
langsung laki-laki telah semena-mena memperlakukan perempuan. Seolah-olah
menganggap tubuh perempuan sebagai bonus dari kerja kerasnya.
Peristiwa-peristiwa diskriminatif itulah yang membangkitkan para perempuan
untuk memberontak hal-hal yang tidak semestinya.
Kekayi, toko utama
dalam cerpen itu merasa sangat dirugikan oleh suaminya, ia merasa kecantiknan
dan kemudaanya dirampas oleh nafsu lelaki tua itu.
”Ambisi?
Kau salah menilaiku. Bagiku, perempuan yang tidak memiliki ambisi, lebih baik
mati saja! Aku telah menyerahkan seluruh hidupku. Seluruh keindahan tubuhku
untuk mimpiku. Aku tak paham cinta. Aku tak paham berbagi gairah dengan lelaki.
Yang merobek tubuhku untuk mimpiku. Aku tak paham berbagi gairah dengan lelaki.
Yang merobek tubuhku dan melukaiku adalah Dasarata, lelaki tua yang begitu
mabuk pada kemudaanku. Kecantikanku. Dia lebih cocok menjadi kakekku dibanding
menjadi suamiku. Aku tidak pernah merasakan apa pun saat bersamanya. Bahkan
ketika kami bersenggama, rasa sakit melumuriku seluruh tulang-tulang dan urat
dalam tubuhku. Tak sepotong manusia pun dititipkan di rahimku oleh lelaki tua
bangka itu! Nafsunya yang menggebu telah melunturkan hasratku, lelaki tua itu
tidak akan mampu menitipkan benih di rahimku. Berhari-hari aku harus
melayaninya. Dia tidak peduli seluruh tubuhku sakit. Untungnya para Dewa tahu
diri. Sejak haid pertama sampai disunting Dasarata, aku memilih tetap dalam
tapa, memutih. Tidak makan apa pun selain nasi putih dan air putih.” (kekayi).
2.
Feminisme
Psikoanalisis
Feminisme psikoanalisis dalam pembahasannya, memiliki dasar pemikiran
berupa penjelasan mendasar mengenai penindasan perempuan berada pada psike dan
cara berfikir perempuan. Teori psikoanalisis yang dipelopori oleh pakar ilmu
jiwa dalam yakni, Sigmund Freud. Dalam pandangan Freud, dalam tulisan yang
berjudul Feminity (1974), diungkapkan bahwa pokok persoalan perbedaan
antara laik-laki dan perempuan secara sosial, berpusat pada konsep ‘penis
envy’ (iri kepada kelamin laki-laki). Dengan mendasarkan pada konsep Freud,
seperti tahapan odipal dan kompleks oedipus, feminis
psikoanalisis mengklaim bahwa ketidak- setaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman
pada masa kanak-kanak awal mereka. Dengan
berlandaskan pada konsep-konsep Freud, kelompok feminis ini menyatakan bahwa
ketimpangan gender dari pengalaman masa kecil yang membuat perempuan melihat
dirinya sebagai feminin, dan laki-laki sebagai maskulin dan pada saat yang sama
menganggap bahwa feminitas lebih rendah daripada maskulinitas (Nugroho. 2011:77).
Dalam pembahasannya, feminis psikoanalis memandang perempuan teropresi
oleh pikirannya sendiri. Dalam artian, ada beberapa hal yang dirasakan
perempuan dirinya telah teropresi oleh patriarki. Sifat Kekayi, tokoh dalam
cerpen di atas pun demikian. Bagaimana ia merasa tidak ada yang tahu mengenai
dirinnya, ia dianggap culas, jahat, dan sebagainya. Padahal ia melakukan
demikian karena pengalaman akan kerajaan yang dipimpin ayahnya telah hancur,
maka muncullah ambisinya untuk melahirkan dan manjadikan anak-anaknya kelak
sebagai raja yang dikenal oleh orang-orang seperti dalam kutipan di bawah ini.
Namaku
Kekayi. Lengkapnya, Dewi Kekayi. Putri Prabu Kekaya, raja negara Padnapura.
Kekaya, sesungguhnya, bukan ayah kandungku. Aku adalah putri Prabu Samresi,
raja Wangsa Hehaya. Ayahku terbunuh mati dalam pertempuran melawan Ramaparasu.
...
kadang
mereka berpikir aku keturunan para dewa sakti. Aku tidak pernah menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Aku senang mereka berpikir aku keturunan dewa.
Mereka semua tidak pernah mengingat nama ayahku dan kerajaannya yang hancur.
Karena kebodohan ayahku kerajaanku hancur. Seorang perempuan cantik telah
dihidangkan kepadanya. Untuk umpan menguasai kerajaannya (pohon Api)
...
”Umurku
mungkin seratus tahun? atau, seribu tahun. Aku tidak peduli angka-angka itu.
Mau apa kau?! Kau percaya pada waktu? Aku tidak! Waktu telah lama berkhianat
padaku. Aku tak percaya lagi padanya! Aku tidak peduli usiamku. Aku hanya
peduli pada hidupku. Aku merasa, aku telah melakukan banyak hal untuk membuat
pilihan hidupku menjadi impianku sebagai perempuan muda. Melahirkan raja-raja.
Hidup sejahtera. Mendapatkan lelaki yang bisa mengangkat statusku makin tinggi,
kalau bisa melebihi status sosial dan ekonomi seluruh perempuan yang ada di
negeri ini. Sejak haid pertama, aku melakukan tapa. Memohon pada para Dewa.
Sudah lama aku tidak menyentuh daging. Aku memutih. Semuanya kulakukan untuk
hidupku sendiri!“ (Kekayi).
Demikianlah feminisme, pembahasannya mengenai perempuan
tidaklah pernah akan ada habisanya.
POHON API
Oka Rusmini
Sejak tubuhnya mulai tumbuh, Kekayi sangat sadar akan
kekuasaan yang dimilikinya. Kekayi, sangat mengagumi bentuk tubuhnya. Tubuh
yang lebih indah daripada sebatang pohon, pohon yang tumbuh dekat jendela
kamarnya.
Pohon itu tingginya 20 meter. Daunnya halus dan rimbun.
Tanaman ini memiliki bunga yang sangat indah. Maka banyak orang rebutan memberi
nama: flamboyan, delonix regia, royal poinciana. Kekayi lebih suka memberinya
nama pohon api.
Pohon yang anggun dan seksi. Dan Kekayi merasa tubuhnya
telah tumbuh menjadi sebatang pohon, pohon api. Pohon itulah temannya, ibunya,
juga semangatnya. Tempat dia mengadu. Juga jika marah, pohon api itu membiarkan
Kekayi menancapkan puluhan pisau runcing dan tajam di tubuhnya. Pohon api itu
tetap diam, tidak merasa dilukai, justru menjatuhkan kelopak bunganya yang
merah menyala. Kadang pohon api itu dipenuhi bunga, seolah pohon itu akan
membakar langit. Pohon api itu akan memakan semua daun-daunnya, meninggalkan
lidah api yang menyala. Kekayi akan meletakkan tubuhnya di bawah pohon berkasur
rumput. Pohon api itu akan menjatuhkan kelopak bunganya yang merah menyala,
mengubur tubuh Kekayi. Terasa hangat dan merasa dilindungi. Kekayi sangat
menikmati, sampai seorang dayang membongkar kuburan bunga itu dan mengangkat
tubuh kecilnya. Begitulah kejadiannya jika pohon api itu berbunga. Kekayi
merasa pohon api itulah yang mengajarinya cara hidup. Memberi inspirasi. Juga
mengajarinya cinta!
Pohon api itu terasa menjelma di tubuh Kekayi. Bahkan
ketika dia menggosokkan tangannya ke tangan Kekaya, lalu menjatuhkan tubuhnya
yang mulai terbentuk indah, lekuk yang sempurna, pinggang kecil, dan dua buah
bukit yang membusung padat ke tubuh Kekaya, sambil menggosokkan bukit-bukit
yang mulai menonjol kaku dan padat itu ke dada Kekaya, lelaki setengah baya itu
berkeringat dan menggigil. Kekayi girang melihat kepandiran Kekaya, ayah
tirinya, ayah angkatnya itu blingsatan. Tidak sanggup menatap mata Kekayi.
Apalagi menyentuh kulitnya yang bening.
Semakin hari, tubuh Kekayi tumbuh cepat. Sorot mata iri
para putri dan pemaisuri, juga selir, membuat Kekayi merasa semakin bergairah.
Bahkan ada seorang selir ingin meracunnya, berharap dia mati! Semakin banyak
yang menaburkan racun di makanannya, semakin bertambah pesona yang memancar
dari dirinya.
Setiap hari adalah tantangan. Semakin banyak perempuan
ingin melukainya. Semakin bertambah kecantikan Kekayi!
Banyak lelaki datang, ingin melamarnya. Kekayi tak ingin
harta. Yang dia inginkan adalah kekuasaan. Kekuasaanlah yang kelak dikenang
orang-orang yang menandakan dirinya pernah ada dan tumbuh di dalam kehidupan
ini. Tubuhnya dipersiapkan untuk melahirkan raja-raja besar dan berkuasa dalam
sejarah.
Akhirnya, datanglah Dasarata, lelaki tua, yang terpikat
oleh kecantikan dan kemudaannya. Lelaki sekaligus seorang raja dari kerajaan
besar dan termasyhur.
Kekayi sempat menangis tujuh hari. Karena dewata
memilihkan seorang lelaki tua untuknya. Lelaki yang kelihatannya akan mati
dalam waktu dekat karena ringkih dimakan usia. Lelaki yang ditolongnya ketika
terluka. Ayahnya, Raja Kekaya menyuruh Kekayi merawat lelaki itu dengan baik.
Kelak, lelaki itulah yang akan mengangkat kehidupannya.
Lelaki tua yang terkapar di tengah hutan. Dengan luka
yang menjijikkan. Baunya melebihi bau mayat dan sampah makanan busuk. Lelaki
tua yang tubuhnya tidak lagi menunjukkan tanda-tanda yang bisa membuatnya
bergairah. Lelaki tua, yang berdiri saja, memerlukan bantuannya. Keriput di
seluruh kulitnya juga wajahnya. Lelaki tua yang memiliki mata begitu nakal.
Lelaki itu juga sering mengelus pundak dan pipinya dengan napas yang berpacu.
Lelaki yang kadang menyuruh Kekayi melumuri seluruh tubuh keriputnya dengan
minyak cendana. Aslinya, lelaki itu begitu menjijikkan bagi Kekayi. Setiap
selesai menggosok tubuh lelaki tua itu, Kekayi muntah-muntah. Seluruh makanan
dalam perutnya terkuras. Tubuh lelaki itu begitu buruk dan menjijikkan. Membuat
Kekayi selalu mual jika berada di dekatnya.
“Turuti seluruh perintahnya, Kekayi. Kelak kau akan tahu
siapa sesungguhnya lelaki itu?” Itu kata-kata yang selalu dikatakan Kekaya,
ayah angkatnya.
Bahkan emban, yang sudah kuanggap ibu bagiku juga
mengatakan hal yang sama. Siapakah lelaki tua jelek ini? Lelaki tua dengan mata
nakal. Mata yang selalu membuat Kekayi merasa telanjang di hadapannya. Lelaki
yang mengelus seluruh tubuhnya dengan penuh gairah. Lelaki yang menawarkan
seluruh hidupnya untuk Kekayi.
“Aku akan membuang semua istriku jika kau mau ikut
denganku, Kekayi. Perempuan tercantik melebihi kecantikan istri para dewa.
Hidupku kembali bergairah lagi melihatmu. Mintalah apa saja! Aku adalah raja
dari kerajaan besar. Keputusanku adalah hukum. Akulah yang menentukan
hidup-mati rakyatku. Ikutlah denganku, kau akan kujadikan ratuku!” Suaranya
parau dan tidak jelas. Mungkin umurnya sudah ratusan tahun, atau ribuan tahun.
Lelaki yang telah melecehkan dirinya. Tetapi Kekayi tidak
bereaksi karena semua manusia di kerajaan Kekaya menaruh hormat pada lelaki
ringkih ini. Kekayi menimbang sendiri. Berpikir dan berhitung. Apakah lelaki
ini jawaban bagi doa-doanya? Bagaimana mungkin lelaki tua ini bisa menanamkan
benih di rahimnya? Berapa umurnya? Dia jauh lebih tua dari Kekaya. Kenapa
Kekaya begitu hormat padanya? Dan membiarkan dirinya menemani lelaki tua, bau,
dan jelek ini berbulan-bulan, sampai seluruh luka di tubuhnya mengering. Kekaya
juga membiarkan dirinya memandikan dan merawat lelaki tua ini sendiri!
Kekayi pun dibawa Dasarata dengan upacara megah bak
upacara menyambut raja baru. Sungguh sebuah upacara yang tidak biasa. Tetapi,
siapa yang berani menentang titah Raja? Membuat para perempuan semakin geram
dan cemburu pada kecantikannya, juga keberuntungannya.
Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Dasarata setelah
dua permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Dasarata
meminang dirinya, ayah Kekayi membuat perjanjian dengan Dasarata bahwa putra
yang dilahirkan oleh Kekayi harus menjadi raja. Dasarata menyetujui perjanjian
tersebut karena dua permaisurinya yang lain tidak mampu melahirkan putra.
Kusalya istri pertama Dasarata hanya bisa meneteskan air
mata. Lelah rasanya memburu cinta Dasarata. Dulu Dasarata berjanji padanya,
akan mengabdikan hidupnya untuknya. Kemudian mereka menikah. Kusalya, putri
tunggal Prabu Banaputra dengan Dewi Barawati dari negara Ayodya, cinta mati
pada Dasarata. Lelaki itu pun dinobatkan menjadi raja Ayodya menggantikan
mertuanya, Prabu Banaputra, yang terbunuh mati dalam pertempuran melawan Prabu
Dasamuka, raja negara Alengka.
Tiga puluh tahun bersama tanpa putra, Dasarata menyerah.
Kelakuannya berubah. Datanglah, Sumitra. Perempuan peragu dan pandai mengambil
hati dengan kata-katanya yang manis. Bagi Kusalya, Sumitra perempuan penjilat.
Berusaha melakukan apa saja untuk menyenangkan hati orang banyak. Semuanya
tentu untuk keuntungannya pribadi.
Kebenciannya pada Sumitra, perempuan kedua yang dibawa
Dasarata, belum lagi terkikis, padahal sudah puluhan tahun bersama. Hari ini,
datang Kekayi, perempuan ketiga, memiliki kecantikan dan keangkuhan yang tidak
tertandingi. Kekayi memiliki ketegasan seorang raja. Taksunya kuat. Sumitra,
yang berusaha menjilat dengan kata-kata manisnya, tidak berkutik. Justru
ketakutan jika duduk berdampingan dengan Kekayi.
Namun, setelah menikah dan hidup lama, Kekayi pun belum
menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Kondisi ini membuat Kusalya sedikit
terhibur.
Dasarata pun putus asa, dia kemudian mengadakan upacara
bagi para dewa. Upacaranya diterima oleh para dewa dan utusan mereka memberikan
sebuah guci bertabur permata hitam berisi air suci agar diminum oleh setiap
permaisurinya. Kusalya minum seteguk dengan perasaan ragu karena mengingat
usianya yang sudah tidak lagi muda, mungkinkah bisa hamil?
Sumitra, dengan nekat sengaja minum dua teguk, dan
berharap lahir banyak anak dari rahimnya agar mampu mengalahkan Kusalya dan
Kekayi. Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan
putra. Rama, lahir dari Kusalya. Bharata, lahir dari Kekayi, Laksmana dan
Satrugna, lahir dari Sumitra.
***
Kekayi puas, seorang bayi laki-laki kini jadi miliknya.
Dan lelaki tua itu tidak pernah datang lagi ke biliknya. Setiap hari lelaki tua
itu datang untuk memangsa tubuhnya dengan rakus. Tidak pernah bosan. Tidak
pernah berhenti. Sangat menjijikkan. Sejak bayi lelakinya lahir, Kekayi
berusaha sibuk mengurus semua kebutuhan anaknya. Memilih guru untuk bertempur.
Juga sibuk dengan urusan-urusan sepele. Dia ingin terlihat sibuk karena jijik
meladeni Dasarata yang selalu lapar pada tubuhnya. Tubuh Kekayi yang sudah
seperti batu. Dingin dan kehilangan kekuatan, juga tak ada gairah lagi jika
melihat lelaki.
Akulah Kekayi, perempuan yang tidak tahu arti cinta.
Seorang ibu yang mengandung 12 bulan. Telah dikutuk oleh anaknya sendiri!
Bharata telah memakiku. Kata-katanya kasar, yang
seharusnya tak layak diucapkan oleh seorang anak yang berutang kehidupan pada
ibunya.
Aku tidak ingin mengutuknya. Aku ibunya. Kutukan seorang
ibu akan membuat bencana besar bagi anakku. Aku ingin Bharata jadi raja. Aku
ingin semua anak yang kumuntahkan dari tubuhku berkuasa. Bukan Rama, anak dari
perempuan tua, Kusalya.
Kekayi namanya, sejak kematian Dasarata, sang raja.
Memilih untuk berbicara dengan matahari. Mulutnya tidak pernah terbuka. Matanya
selalu tajam memandang ke arah matahari terbit sampai matahari terbenam.
Perempuan itu akan terus menghadap ke arah matahari dengan posisi yoga.
Tidak ada yang bisa mengajaknya bicara. Tidak juga
anak-anaknya. Jika malam datang, Kekayi akan merebahkan tubuhnya. Telentang
menghadap langit. Sambil memejamkan mata. Menunggu matahari.
***
Setiap pagi, ketika kemilau mulai menggores langit,
perempuan itu akan duduk bersimpuh sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.
Perempuan cantik itu tidak akan pernah bicara, kecuali Bharatha mau menjadi
raja.
Namaku Kekayi. Lengkapnya, Dewi Kekayi. Putri Prabu
Kekaya, raja negara Padnapura. Kekaya, sesungguhnya, bukan ayah kandungku. Aku
adalah putri Prabu Samresi, raja Wangsa Hehaya. Ayahku terbunuh mati dalam
pertempuran melawan Ramaparasu.
Waktu aku masih berwujud bayi merah, seorang emban
berhasil menyelamatkanku, Matara. Dialah yang menyerahkan bayi merah itu kepada
Kekaya.
Aku tumbuh makin besar dan cantik. Kupikir Kekaya
tertarik padaku, para selir dan ratu cemburu padaku.
“Sumber kekuatan terbesar dalam hidupku hanyalah
kecantikan dan kemudaan.” Kata-kata itulah yang selalu diselipkan Matara
kepadaku. Sesungguhnya aku adalah perempuan miskin. Tidak memiliki harta. Tidak
juga orangtua. Yang kumiliki kecantikan dan kemudaan. Kata Matara,
kecantikankulah yang kelak membuatku memiliki kekuasaan. Jika aku bisa
memanfaatkannya sebaik mungkin. Secepat dan setepat mungkin. Jika meleset
membidikkan anak panah. Hidupkulah yang jadi taruhan!
Aku suka sekali menggunakan kecantikanku untuk berkuasa.
Para panglima di kerajaan mengajariku berkuda, kadang menggunakan tombak untuk
berburu. Apa pun yang kuinginkan, para lelaki selalu datang membantuku.
Suatu hari, ayah angkatku, Raja Kekaya kugoda. Aku suka
membangun impian-impian aneh.
Kata para dayang, kadang tubuhku mengeluarkan cahaya.
Jika datang bulan terang, purnama, cahaya tubuhku akan memancar membuat silau.
Kadang mereka berpikir aku keturunan para dewa sakti. Aku
tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku senang mereka berpikir aku
keturunan dewa. Mereka semua tidak pernah mengingat nama ayahku dan kerajaannya
yang hancur. Karena kebodohan ayahku kerajaanku hancur. Seorang perempuan
cantik telah dihidangkan kepadanya. Untuk umpan menguasai kerajaannya.
Matara, emban itulah yang menyelamatkan nasibku. Kadang
aku berpikir Matara adalah ibuku, dan aku lahir karena hubungan Matara dan
ayahku. Aku senang membayangkan Matara sebagai ibuku, karena dialah yang selalu
ada sejak aku masih bayi merah sampai aku tumbuh jadi perempuan paling cantik.
Aku malah berpikir Matara itu bukan manusia. Mungkin dia dedemit, raksasi atau
sejenis itu. Tubuhnya tidak berubah menua. Dia juga kuat menggotong tubuhku
ketika aku rubuh. Waktu itu seorang selir raja mengajakku santap malam. Kata
Matara, selir itu telah membubuhkan racun ganas di tubuhku. Dan sesungguhnya
aku telah mati tiga hari. Entah apa yang dilakukan Matara, sampai hari ini aku
baik-baik saja.
Sebuah rahasia tetap kusimpan rapi. Jika istri raja
mengundangku datang ke kamarnya, Mataralah yang menjelma jadi Kekayi.
Banyak selir raja yang mati jika Matara yang menjelma
jadi Kekayi. Karena Matara mampu melihat mana menu beracun, dan dengan mudah
memindahkan makanan beracun itu ke tempat pemberi racun.
Karena Matara selalu berwujud Kekayi, istri-istri raja
dan selir pun makin takut pada Kekayi. Bahkan banyak rumor, aku adalah anak
kesayangan dewa yang lahir untuk menguasai seluruh kehidupan ini. Kekayi tidak
mempan diracun. Juga tidak mempan disabet benda tajam. Aku tahu semua itu ulah
Matara. Makanya, aku berpikir Mataralah ibuku. Hanya seorang ibu yang rela
melakukan apa saja untuk darah dagingku. Aku lebih mengenal Matara, dibanding
sosok ibu yang melahirkanku.
“Kau adalah keturunan raja besar yang gagah. Lahir dari
rahim perempuan cantik yang tidak ada tandingannya. Bahkan banyak dewa jatuh
cinta pada ibumu, Kekayi?” Suatu hari Raja Kekaya berkata sungguh-sungguh.
Tatapan lelaki itu tajam, mengupas seluruh serat kapas yang melekat di tubuh
Kekayi. Terdengar detak jantungnya, desah napasnya yang berdengung seperti
tawon di kupingku. Aku tahu, Kekaya berusaha menghentikan seluruh detak
tubuhnya yang dia rasa tidak normal. Kekayi tahu seluruh dayang, selir, dan
puluhan istri Kekaya tahu. Bahwa Kekaya jatuh cinta pada Kekayi.
“Aku suka para lelaki menatapku dengan birahi.”
“Kekayi!”
“Jaga mulutmu! Jika kau semakin angkuh dan sombong.
Musuhmu akan semakin banyak.” Matara selalu berkata dengan ketus. Hanya
Mataralah yang bisa meredamnya. Kekayi tidak percaya pada siapa pun, juga pada
apa pun. Penunjuk jalan hidupnya adalah Matara. Perempuan bertubuh kayu, dengan
bongkok seperti gumpalan batu di punggungnya.
***
Aku adalah Kekayi, perempuan yang menghabiskan hidupnya
untuk berdoa dan tirakat pada hidup. Kini menjelma perempuan tua, yang
dicaci-maki anakku sendiri. Sebagai Ibu, aku tak akan mengutuk mereka. Karena
mereka tidak pernah tahu siapa Kekayi sesungguhnya! Namaku Kekayi, perempuan,
istri seorang lelaki tua, dan ibu Bharata. Bharata memusuhiku, memakiku, dan
berkata kasar, menyesal memiliki ibu seperti aku. Yang tamak, loba, haus
kekuasaan, menghalalkan apa saja untuk dirinya sendiri dan tanpa hati.
Perempuan hina yang membunuh suaminya sendiri, Dasarata. Kekayi tidak habis
pikir, kenapa dia yang disalahkan oleh Bharata? Bukankah Dasarata sendiri yang
berjanji akan memberikan apa saja yang dia inginkan? Juga mengangkat Bharata
sebagai raja? Lalu, kenapa Dasarata berubah arah, mengangkat Rama? Kenapa
Bharata begitu marah padanya? Bukankah hak dan kewajiban seorang ibu adalah
memberi hal-hal terbaik bagi anaknya. Tugas ibu juga membuat masa depan anaknya
gemilang.
Bharata memang lelaki yang masih muda. Belum paham hidup.
Belum paham bahwa kesempatan itu tidak datang dua kali! Kekayi tidak habis
pikir, kenapa Bharata berpihak pada Kusalya? Dan memohon maaf atas nama Kekayi.
Hyang Jagat! Betapa bodohnya Bharata. Betapa menyedihkan
Kekayi sebagai ibu telah melahirkan seorang anak lelaki yang rapuh!
Mungkin ketika aku mengandung mereka, mereka adalah
burung gagak yang mematuk rahimku.
KEKAYI
Oka Rusmini
PEREMPUAN tua itu masih menyisakan gurat-gurat
kecantikan yang tidak dimiliki perempuan-perempuan lain di negeri ini. Matanya
tajam, mata seorang penari yang begitu menggoda. Jika menatapnya, lelaki pasti
akan bertekuk lutut dan menghamba kepadanya. Kerlingnya bisa mematahkan hati.
Lelaki paling setia pun akan tunduk, takluk, dan melupakan istri yang
dicintainya.
Mata itu mampu mengatur hidupnya, sesuai dengan keinginan
dan kebutuhannya. Dialah perempuan yang sadar bahwa tubuh perempuan adalah
alat, tepatnya senjata mematikan! Jika perempuan mampu memainkan dengan baik
dan penuh percaya diri, tubuh itu bernama: kekuasaan!
***
PEREMPUAN tua itu juga suka menggulung rambutnya
yang mulai berubah warna tinggi-tinggi, untuk memperlihatkan tengkuknya yang
menggairahkan. Lehernya begitu jenjang, keriput tipis yang menghias kulit
lehernya justru menjadi semacam aksesori, menambah gairah orang-orang yang
melihatnya. Jika berjalan, ia selalu berjalan tegak dengan kepala sedikit
mendongak.
Sanggulnya selalu dihiasi bunga cempaka berjejer,
jumlanya selalu ganjil. Perempuan itu percaya, hidupnya yang ganjil harus
ditandai juga dengan ritual yang ganjil. Jika hari kelahirannya, Anggara-Ugu,
tiba, perempuan itu hanya meneguk air putih dan makan semangkuk kuncup melati.
Mengunyahnya tanpa pernah membuka mulut. Menjelang tengah malam, dia akan mandi
kembang tujuh macam tujuh warna.
Jika berdekatan dengannya akan tercium bau wangi yang
misterius, sedikit mistis, karena perempuan tua itu melabur rambutnya yang
kelabu dengan minyak rambut buatannya sendiri. Dia membuat minyak kelapa
sendiri, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berbentuk mirip bambu yang
memiliki tutup botol runcing, bergerigi sangat tajam. Di dalamnya ia masukkan
pula potongan bunga kenanga dan irisan daun pandan berduri.
Warna kelabu rambutnya justru menambah kecantikannya.
Kecantikan yang masih terlihat tegas dan nyata. Kecantikan yang memiliki taksu
yang kuat.
Tubuhnya ramping. Jika dilihat dari belakang, banyak
orang berpikir bahwa perempuan itu adalah perempuan muda yang sangat cantik.
Wajahnya juga masih memancarkan kecantikan memukau. Bahkan seorang kusir kuda
berumur belasan tahun, terinjak kudanya sendiri ketika takjub menatap perempuan
itu.
***
SUDAH puluhan tahun perempuan itu selalu menghadap
arah matahari, berharap dewa matahari bersimpati pada hidupnya, pada
pengorbanan yang telah dia lakukan untuk hidupnya. Dia tahu, menjadi lakon di
atas panggung hidup ini tidak ada yang gratis! Apa yang diambil harus dibayar.
Yang datang pasti akan pergi. Yang hidup pasti akan mati! Cinta akan bertemu
benci. Begitu hukum kehidupan ini. Tetapi mengapa hidup hanya merenggut semua
miliknya, tanpa mau membayar kepadanya? Bahkan ratusan doa yang dia panjatkan
dalam satu jam selama puluhan tahu belum dia rasakan. Kalau hidup berlaku tidak
adail padanya, pada siapa dia harus mengadu? Protes dan marah?
Ke mana doa-doa yang telah dipanjatkan mengalir? Jika
sungai bertemu dengan laut. Ke mana larinya doa-doanya?
Tubuhnya yang mulai berkerut, mirip kulit pohon kamboja
yang berjejer di depan kamar tidurnya. Dia selalu terjaga pagi hari dengan
amarah yang siap meledak. Kesabaran itu ada batasnya, perempuan hamil pun ingin
segera memutahkan dagingnya. Saat ini tak ada lagi yang bisa dipercaya kecuali
matahari.
Perempuan tua itu begitu mencintai matahari, seperti dia
mencintai dirinya sendiri. Juga hidupnya. Jika matahari diusir, menjelma gelap.
Kesedihan mengepung hati dan pikirannya. Tetapi dia tidak ingin menumpahkan
butiran air di matanya yang bulat dan indah. Baginya malam hari adalah saat
paling membosankan dalam hidupnya.
“Aku tidak suka bau malam!”
”Kenapa? Malam justru menaburkan kedamaian. Keheningan.
Kau bisa berbicara dengan dirimu sendiri. Aku menyukai malam, karena malam
membuatku paham arti hidup. Bukankah para penyair selalu terjaga pada malam
hari untuk menuliskan hal-hal indah dalam hidup ini?“
”Aku tidak suka malam!“
”Kenapa?“
”Malam membuat hidup ini tidak lagi menarik. Malam
membuat hidup ini jadi cengeng dan melankolis. Aku tidak suka malam! Malam
membuatku jadi perempuan lemah. Perempuan cengeng! Perempuan yang menyesali
perjalanan hidupnya sendiri. Hidup yang dipilihnya sendiri. Aku benci hal-hal
yang berbau perasaan. Firasat. Dan hal-hal yang bagiku sudah tidak masuk akal.
Cengeng.“
”Dulu kau suka para penyair mengidungkan karya-karya
mereka di depanmu.“
”Itu karena aku bodoh!“
”Apa maksudmu?! Kau bukan perempuan bodoh!“
”Aku bodoh! Hanya perempuan bodoh yang mau menghabiskan
waktu dengan hal-hal yang membuat dirinya mabuk. Tak ada keindahan dalam cinta!
Romantisme. Puisi-puisi cinta, tatapan penuh kasih, kesetiaan, itu semua
bohong! Aku mabuk pada diri sendiri. Terbenam dalam lautan kesedihan yang
paling dalam. Ketika muda, aku adalah perempuan tolol! Yang mau saja dihidangi
kidung-kidung cengeng. Membiarkan orang-orang datang dan menikmati
kecantikanku. Tubuhku! Merampasnya dengan cara terhormat tanpa aku sadar.
Mereka telah mencuri hidupku. Mencuri masa depanku! Kidung-kidung cinta itulah
yang membuatku mabuk dan bodoh.“
”Kau menyesal jadi Kekayi?“
”Tidak! Aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku tidak
menyalahkan orang-orang yang menaburkan mimpi-mimpi kosong ke dalam hidupku.
Aku juga tidak menyesal orang-orang menikmati kecantikan dan kemudaanku. Yang
membuat aku menyesal, hidup telah memperlakukan aku tidak adil. Aku merasa
dikhianati oleh hidup itu sendiri. Karena aku perempuan bodoh, perempuan yang
tidak paham keinginannya sendiri. Perempuan yang mabuk karena kecantikannya. Kemudaannya.
Aslinya aku perempuan tolol. Tolol sekali! Bahkan aku
tidak mampu mengembalikan anakku. Aku tidak mampu meraih anak yang dua belas
bulan hidup di tubuhku. Merampas seluruh makananku. Merampas pikiranku.
Merampas seluruh kenikmatanku sebagai perempuan muda. Kau tahu, sering aku
marah pada gumpalan daging yang tumbuh makin membesar di tubuhku. Merampas rasa
laparku. Merampas tubuhu. Kadang, pada tengah malam ia merampas napasku.
Mungkin daging itu menginginkan aku mati pada tengah malam.”
”Ah… pikiranmu selalu aneh-aneh.”
”Aku tidak sedang berpikir. Aku sedang bercerita tentang
hidupku sebagai perempuan muda. Hidupku sendiri. Hidupku yang kupilih dan
kuyakini sendiri. Hidup yang telah kusia-siakan sendiri. Aku bercerita padamu,
kuharap kelak kau bisa menuliskannya menjadi kidung, kakawin, atau serat. Aku
tidak ingin diam saja, karena orang-orang tidak akan tahu pikiranku.
Perjuanganku. Mereka hanya tahu aku perempuan culas! Perempuan jahat! Mereka
harus tahu, aku juga punya mimpi dan cita-cita untuk hidupku dan keturunanku. Aku
telah berkorban banyak dalam hidup ini. Juga untuk anak-anakku!“
”Kau tidak lagi muda, Kekayi!“
”Aku tahu!“
”Umurmu...“
”Umurku mungkin seratus tahun? atau, seribu tahun. Aku
tidak peduli angka-angka itu. Mau apa kau?! Kau percaya pada waktu? Aku tidak!
Waktu telah lama berkhianat padaku. Aku tak percaya lagi padanya! Aku tidak
peduli usiamku. Aku hanya peduli pada hidupku. Aku merasa, aku telah melakukan
banyak hal untuk membuat pilihan hidupku menjadi impianku sebagai perempuan
muda. Melahirkan raja-raja. Hidup sejahtera. Mendapatkan lelaki yang bisa
mengangkat statusku makin tinggi, kalau bisa melebihi status sosial dan ekonomi
seluruh perempuan yang ada di negeri ini. Sejak haid pertama, aku melakukan
tapa. Memohon pada para Dewa. Sudah lama aku tidak menyentuh daging. Aku
memutih. Semuanya kulakukan untuk hidupku sendiri!“
”Ah... Kekayi. Ambisimu telah membunuhmu!“
”Ambisi? Kau salah menilaiku. Bagiku, perempuan yang
tidak memiliki ambisi, lebih baik mati saja! Aku telah menyerahkan seluruh
hidupku. Seluruh keindahan tubuhku untuk mimpiku. Aku tak paham cinta. Aku tak
paham berbagi gairah dengan lelaki. Yang merobek tubuhku untuk mimpiku. Aku tak
paham berbagi gairah dengan lelaki. Yang merobek tubuhku dan melukaiku adalah
Dasarata, lelaki tua yang begitu mabuk pada kemudaanku. Kecantikanku. Dia lebih
cocok menjadi kakekku dibanding menjadi suamiku. Aku tidak pernah merasakan apa
pun saat bersamanya. Bahkan ketika kami bersenggama, rasa sakit melumuriku
seluruh tulang-tulang dan urat dalam tubuhku. Tak sepotong manusia pun
dititipkan di rahimku oleh lelaki tua bangka itu! Nafsunya yang menggebu telah
melunturkan hasratku, lelaki tua itu tidak akan mampu menitipkan benih di
rahimku. Berhari-hari aku harus melayaninya. Dia tidak peduli seluruh tubuhku
sakit. Untungnya para Dewa tahu diri. Sejak haid pertama sampai disunting
Dasarata, aku memilih tetap dalam tapa, memutih. Tidak makan apa pun selain
nasi putih dan air putih.”
”Apa sesungguhnya yang kau inginkan sebagai perempuan?”
”Aku ingin dicintai secara tulus oleh orang-orang yang
telah kubesarkan. Manusia-manusia yang tumbuh dalam tubuhku. Kupelihara dengan
rasa sakit. Apakah Bharata tahu itu itu? Apakah Bharata tahu sulitnya menjadi
perempuan? Sulitnya menjadi ibu? Sulitnya memeliharanya di dalam kandunganku,
di tubuhku! Orang-orang yang tumbuh dalam tubuhku telah melukai pengorbananku
sebagai Kekayi Bharata anak lelakiku menolak jadi raja. Dan memakiku dengan
kata-kata kotor.”
”Kau tidak cocok jadi ibuku. Jika aku boleh memilih, aku
tidak ingin mengeram dalam tubuhmu, Kekayi! Aku malu punya ibu culas macam kau!
Ibu yang menginginkan hak yang bukan menjadi haknya. Ibu yang menghancurkan
anaknya sendiri karena keinginannya yang tidak masuk akal. Aku menyesal dan
mengutuk diriku sebagai manusia! Karena terlahir dari rahimmu. Kau telah
membuat hidupku penuh bencana karena ambisimu. Kau telah melukai dan menistakan
hidupmu dan hidup anak-anakmu. Kerajaan ini adalah milik Rama. Bukan milikku.
Kau lihat sendiri di luar sana. Rakyat menatapku dengan tatapan aneh. Tatapan
penuh iba. Sekaligus benci. Kau telah membuatku menjadi anak yang tidak
berbakti! Anak yang dilecehkan sepanjang hidupku. Karena aku memiliki ibu
sepertimu. Aku menyesal menjadi anakmu!“
Begitulah Bharata, anak lelaki tampan yang telah dirawat
Kekayi dengan cinta dan doa yang tulus. Telah melukai hati perempuannya. Hati
seorang ibu. Hati seorang perempuan yang sesungguhnya telah lama patah hati.
Tidak ada yang paham luka yang terus melumuri hidup
Kekayi. Sejak muda perempuan itu selalu menghabiskan waktu bertapa. Memohon
pada dewata agar memilihnya menjadi perempuan yang melahirkan raja-raja besar.
Sejak kecil Kekayi sadar, sebagai anak angkat Raja
Kekaya, posisinya sangat lemah. Dia tidak mungkin menjadi ratu, menggantikan Kekaya
memimpin Kerajaan Padnapura. Padahal sejak kecil, ketika berumur dua belas
tahun, dan diangkat anak oleh Kekaya, Kekayi selalu membayangkan duduk dengan
kepala tegak di kursi singgasana Padnapura. Bahkan dia telah mempersiapkan diri
untuk menjadi lelaki.
Kekayi sejak kecil selalu minta dilatih bela diri,
melempar tombak berburu, dan melakukan hal-hal yang biasanya tidak dilakukan
anak perempuan. Kekayi akan marah besar jika Kekaya menolak permintaannya untuk
bertarung dengan anak lelaki. Dan di setiap pertarungan Kekayi akan berpakaian
seperti lelaki, sehingga para petarung tidak melihatnya sebagai perempuan. Di
setiap pertarungan Kekayi selalu mudah menaklukkan lawan.
Tetapi usaha kerasnya untuk menunjukkan pada Kekaya bahwa
dirinya layak diperhitungkan sebagai salah satu calon penguasa sia-sia. Kekaya
telah mempersiapkan seorang putra mahkota. Seorang lelaki yang lebih tua dari
Kekayi. Putra mahkota yang sejak lahir sadar akan halnya sebagai puenguasa.
Lelaki bodoh, pemalas, dan sombong! Dia juga memperlakukan para perempuan muda
di kerajaan dengan tidak hormat.
Suatu pagi, dia meremas dada Kekayi, menepuk bokongnya
sambil tertawa, bersama para pengawal dan saudara-saudara lelakinya. Kekayi
menggunakan bagian ujung tangan – bagian yang bersentuhan langsung dengan objek
– untuk memukul objek. Semakin kecil dan semakin mudah untuk meremukkan objek.
Itu petunjuk dari gurunya. Kekayi pun mempraktikkan dengan riang teknik melumpuhkan
lawan itu. Hasilnya, gigi calon raja itu rompal. Tangan kanannya patah. Leher
terkilir.
Sejak itu, lelaki bertubuh badut itu tak berani menyentuh
dan menatapnya. ***
Denpasar, 27 Oktober – Desember 2016
Daftar
pustaka
Rokhmansyah, Alfian. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme.
Yogyakarta: Garudhawaca.
Nugroho, Riant. 2011. Gender Dan
Strategi Pengarus-Utamaanya Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
De Beavoir, Simone. 1949. The Second
Sex (Terjemahan Indonesia) : Jakarta : Pustaka Promethea
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: pengantar paling
kompherensif kepada aliran utama pemikiran feminis. Diterjemahan oleh
Aquarini Priyanti Priyanti Prabasmoro. Yogyakarta: jalasutra
Komentar
Over 160000 men and women are trying a simple and SECRET "water hack" to drop 1-2 lbs each and every night while they sleep.
It is very simple and it works on anybody.
This is how you can do it yourself:
1) Go grab a drinking glass and fill it up half the way
2) And now follow this proven HACK
you'll be 1-2 lbs skinnier the very next day!