Analisis Lapis Norma dalam karya Sastra (referensi)

.      Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang.Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Dalam bait pertama puisi di atas terdapat asonansi bunyi a, e, dan u pada kata “hanya”, “karena”, “cinta”, “menetes”, “meresap”, “ujung”, “bulu”, “matamu”, “rumput”, “daun-daun”, “jantungku”, “padamu”, “mensyukuri”, dan “waktu”. Terdapat pula aliterasi m pada kata “embun”, “menetes”, “matamu”, “membasahi”, “rumput”, “meresap”, “padamu”, dan “mensyukuri”. Dalam bait kedua terdapat asonansi bunyi a, u, o, dan i pada kata “siapa”, “menolak”, “barangkali”, “hanya”, “berjalan”, “kepala”, “bersujud”, “padamu”, “bersyukur”, “karuniamu”, “orang-orang”, “congkak”, “mendongak”, “langit-langit”, “sambil”, “melirik”, dan “cibiran”. Terdapat pula aliterasi b dan k pada kata “bersujud”, “bersyukur”, “barangkali”, “berjalan”, “sambil”, “cibiran”, “menolak”, “karuniamu”, “congkak”, “kepala”, “mendongak”, dan “melirik”. Dalam bait ketiga terdapat asonansi bunyi a, i, dan u pada kata “hanya”, “karena”, “cinta”, “hujan”, “syaraf”, “menghijaukan”, “taman”, “membasahi”, “pori-pori”, “nadi”, “kembali”, “bernyanyi”, “berzikir”, “ampuni”, “sudut”, “pelupuk”, “matamu”, “rambutku”, “menyusup”, “tubuh”, “hatiku”, “burung-burungpun”, “karenaku”, “bersujud”, “padamu”, “ya allah”, “adaku”, dan “padamu”. Terdapat pula aliterasi n, b, dan m pada kata “karena”, “cinta”, “hujan”, “menetes”, “nadi”, “taman”, “tubuh”, “burung-burungpun”, “bernyanyi”, “berzikir”, “bersujud”, “matamu”, “membasahi”, “menyusup”, “menghijaukan”, dan “ampuni”.
2.      Lapis Arti (Units of Meaning)
Setiap diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh penyair.Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah satu ciri puisi.Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impres tertentu pada pembacanya.Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak.Mulai dari fonem, kata, kalimat, dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17).Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika.Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
Pada bait pertama diartikan bahwa cinta yang Allah berikan itu seperti embun yang setiap paginya selalu menetes dan membangunkanku untuk berdzikir kepadaMu dan selalu mensyukuri apapun yang kita punya atau yang kita miliki setiap saat. Pada bait kedua diartikan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak bersujud dan bersyukur kepadaMu kecuali orang yang sombong dengan membanggakan dirinya dan membesar-besarkan omongannya. Pada bait ketiga diartikan bahwa cinta yang diberikan Allah seperti hujan yang menyejukanku, membuatku merasa damai, dan alam beserta burung-burungpun senang ketika melihatku berdzikir kepadaMu. Ya Allah, aku memohon ampun kepadaMu.
3.      Lapis Ketiga (Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang.Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang.Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Lapis ketiga ini membahas tentang pengaruh pengarang dan lingkungannya terhadap karya sastra yang dilahirkannya.Ahmadun Yosi Herfanda ini banyak menulis sajak-sajak sosial-religius.Puisi “Sajak Embun” ini salah satunya, dibuktikan pada kata-kata yang dituliskan oleh pengarang tentang cinta yang diberikan Allah kepada umatnya dan kehidupan orang-orang congkak yang tidak bersyukur kepadaNya.Hal ini mengusik pengarang untuk menuangkannya dalam sebuah karya sastra.Hasil karya yang dihasilkan dipengaruhi oleh keadaan yang sering terjadi pada masyarakat dari jaman dulu sampai jaman sekarang.Jadi, pengarang dan lingkungannya mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan tersebut dapat dilihat pada lapis arti.
4.      Lapis Keempat (Dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dipandang dari sudut pandang tertentu dimana embun dan hujan adalah bukti cinta Allah kepada kita seperti dalam bait pertama puisi digambarkan bahwa embun digambarkan sebagai cintaNya itu meresap sampai ke jantung dan membuat kita bersyukur atas cinta yang diberikanNya. Pada bait kedua menggambarkan makhluk yang sombong dengan menolak untuk bersyukur, dan pada bait ketiga digambarkan lagi cinta Allah dengan menunjukkan hujan yang bisa menyejukkan hati.
5.      Lapis Kelima (Metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima.Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Puisi Sajak Embun membahas tentang rasa cinta Allah yang diberikan kepada umatNya lewat embun dan hujan yang bisa membangunkan, menyejukkan, dan mendamaikan hati para makhlukNya untuk ingat kepadaNya dengan cara berdzikir dan bersyukur setiap saat kepadaNya, makhluk-makhlukNya yang tidak bersyukur termasuk makhluk yang sombong. Penggambaran rasa cinta itu dikemas dalam sebuah karya sastra yang mengandung makna dan penyampaian dengan ketepatan diksi yang digunakan oleh pengarang. Oleh sebab itu, penulis mengajak para pembaca untuk selalu bersyukur terhadap apa yang telah Allah berikan kepada kita, tidak lupa berdzikir dalam keadaan apapun, dan tidak menjadi orang yang sombong.






















negara, lingkungan dan orang tuanya. Itulah mengapa setelah diksi ‘belenggu’ diberi pro nomina ‘nya’.Agar semakin jelas siapa yang menyimpan kemerdekaan dan belenggu itu. Kaki di sini
tidak bisa ditafsirkan semata-mata sebagai kaki manusia dalam bahasa semiotik tingkat pertama. Karena kaki merupakan
pars prototo
 (sebagian untuk keseluruhan) dari seluruh hal yang menjadi  pijakan manusia. Mungkin ideologi, agama, keperayaan atau yang lainnya. Ada sesuatu yang mencengangkan ketika membaca bait keempat sajak
 Doa untuk  Anakku
. Aku lirik menggunakan diksi ‘jangan’ pada:
 Janganlah Kaumanjakan ia/ Jangan  Kauistimewakan kemurahan baginya
. Meskipun kata ‘jangan’ juga digunakan pada bai kedua,
namun pada bait i
ni kata ‘jangan’ disebutkan hingga dua kali pada baris yang berurutan (biasa
disebut gaya ulang bunyi sajak awal). Ada intensitas penyebutan di dalamnya mesk hanya dua
kali penyebutan. Dalam realitas keseharian diksi ‘jangan’ memang bukan kata yang vulgar
sebagai kalimat perintah, bedanya dalam konteks sajak
Doa untuk Anakku

diksi ‘jangan’ terdapat
di tengah doa. Padahal sebagaimana telah disebutkan di awal doa merupakan ungkapan ketulusan dan kesungguhan. Hal ini mengindikasikan sesuatu yang teramat serius terlebih ketika membaca kata-kata berikutnya: aku lirik melarang Tuhan memanjakan dan mengistemawakan
kemurahan untuk anaknya. Seolah penggunaan diksi ‘jangan’ dimaksudkan untuk memberikan
penekanan pada hal yang diminta aku lirik. Tujuan penekanan tersebut terdapat pada baris  berikutnya:
 Agar cepat ia mengenali dirinya/ Dan mengerti bahasa tetangganya.

Diksi ‘mengerti bahasa tetangga’ merupakan simbol pluralisme. Simbol penghormatan
terhadap orang atau makhluk lain. Karena sebagaimana kita maklumi bersama, bahasa merupakan alat satu-satunya makhluk melakukan interaksi. Tetapi sebelum mengerti bahasa tetangganya, aku lirik menginginkan agar anaknya mengenali dirinya terlebih dahulu dengan  proses yang cepat. Artinya aku lirik menginginkan anaknya mengetahui seluruh kekurangan dan

kelebihan yang dimilikinya sampai ke hal-hal yang terkecil dalam dirinya. Asumsi tersebut
didasarkan pada penggunaan diksi ‘kenal’ yang identik dengan proses seseorang menjadi tahu
sesuatu dari yang sebelumnya sama sekali tidak tahu sesuatu tersebut. Kearifan yang luar biasa pada sajak
Doa untuk Anakku
adalah pada bait kelima:
 Hukumlah jika ia meminta kemenangan/ Sebab, itu berarti/ Mendoakan kekalahan/ Bagi  sesamanya.
Aku lirik sangat jelas pada bait tersebut meminta agar Tuhan menghukum anaknya  bila ia meminta kemenangan. Padahal saat modernisasi semua bidang terus dikembangkan, orang-orang sibuk memenuhi ambisi untuk kemenangan pribadi. Bait yang juga mengingatkan  pembaca untuk kembali berkontemplasi dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia untuk  peduli pada sesama dengan berbagai cara. Aku lirik benar-benar menginginkan anaknya untuk  bisa melayani kehidupan, tidak memihak, meski terhadap dirinya sendiri. Bahkan si aku lirik  berdoa agar anaknya tidak meminta kemenangan. Ringkasnya aku lirik benar-benar tidak menghendaki anaknya memiliki sikap egois. Sifat yang sangat bertentangan dengan kebiasaan  baru sebagian masyarakat Indonesia, yaitu semakin asik berkejaran dengan waktu demi ambisi  pribadi. Akhirnya menjadi barang langka pemandangan kerumunan orang membantu mendirikan rumah tetangganya tanpa bayaran. Sangat mungkin disinilah
key word
atau fokus kegelisahan si aku lirik hingga ia memohon Tuhan untuk menghukum anaknya bila ia meminta kemenangan. Setiap bait pada sajak

Doa untuk Anakku
seolah memberikan pelajaran mengenai  bagaimana menjalani kehidupan tetapi tanpa pembaca merasa digurui. Nyaris setiap bait memiliki setidaknya satu diksi yang penafsirannya bisa sangat luas. Tidak salah apabila ada yang  berasumsi bahwa membaca sajak ini seperti diajak berkelana menyusuri kearifan hidup hingga akhirnya secara tidak sadar akan mempertanyakan kualitas hidup pribadinya. Misalnya pada  baris terakhir bait keenam:
Untuk melihat punggung yang tak nampak olehnya.
 Punggung bisa

saja diartikan dengan menggunakan konvensi bahasa tingkat pertama, tetapi bila menggunakan
sistem bahasa tingkat kedua ‘punggung’ bisa dimaknai dengan karakter, sifat, keangkuhan dan
lain sebagainya yang kadang memang tidak kita sadari. Usai mengajak pembaca berkontemplasi dengan banyak hal, sajak ditutup dengan sesuatu yang luar biasa:
Tuhanku,/ Semoga atas nama-Mu/ Ia mampu bergaul dengan-MU.

 –
Mu pada  baris terakhir tersebut menggunakan huruf M kapital yang mengacu kepada kata Tuhan. Bergaul dengan Tuhan dalam kerangka pemikiran sufistik Islam adalah tingkatan tertinggi seorang manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Apabila seseorang mampu bergaul dengan Tuhan berarti ia telah bertakwa dan mampu merasakan kehadiran Tuhan. Penutup sajak ini  begitu apik karena mampu menghadirkan atmosfir ketuhanan yang begitu sakral dengan kombinasi bunyi vokal, konsonan bersuara, bunyi liquida dan bunyi sengau. Sehingga menghasilkan bunyi yang merdu dan berirama










Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
Untuk menganalisis karya sastra setepat-tepatnya perlu diketahui apa sesungguhnya karya sastra itu. Oleh karena itu, karya sastra harus dimengerti sebagai struktur norma-norma.
Dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1968:150-151) pengertian norma ini janganlah dikacaukan dengan norma-norma klasik, etika, ataupun politik (yang ditentukan dari luar). Norma itu harus dipahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra murni sebagai keseluruhan.
Karya sastra bukan hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Setiap norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Wellek dan Warren (1968:151) mengemukakan analisis Roman Ingarden yang didalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan metode fenomenologi Edmond Husserl, ia menganalisis norma-norma sebagai berikut.
1. Lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang.Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti.Sesuai dengan konvensi bahasa, bunyi itu disusn sedemikian rupa hingga menimbulkan arti berdasarkan konvensi.Dengan adanya satuan-satuan suara, orang menangkap artinya.Maka, lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya lapis arti.
2. Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kelompok kata (frase), dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti.Akan tetapi, dalam karya sastra yang merupakan satuan minimum arti adalah kata.Kata dirangkai menjadi kelompok kata dan kalimat. Kalimat-kalimat berangkai menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapis ketiga, yaitu objek-objek yang dikemukakan, pelaku, latar, dan semuanya itu berangkai menjadi dunia pengarang berupa cerita, lukisan, ataupun pernyataan.
3. Lapis objek yang dikemukakan, “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
4. “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan secara eksplisit karena sudah terkandung didalamnya (implied). Sebuah peristiwa dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya jederan pintu, dapat menyiratkan atau memperlihatkan aspek watak “luar” atau “dalam”. Misalnya, pintu membuka bersuara halus dapat memberi sugesti yang membuka atau menutup seorang wanita atau orang yang berwatak hati-hati.
5. Lapis metafisik, berupa sifat-sifat metafisik (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini karya sastra memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi, lapis metafisik tidak terdapat dalam semua karya sastra.

2. Contoh Analisis Lapis Norma Karya Sastra
Untuk menjelaskan uraian mengenai analisis fenomenologis, disini dianalisis sajak Chairil Anwar.

TUTI ARTIC
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan sus + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
,, ketika kita bersepeda kuantar kau pulang ,,
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang,

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti+Greet+Amoi….hati terlantar.
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.

(1959:41)
(1) Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa rangkaian satuan suara, yaitu suara suku kata, kata, kelompok kata dan suara kalimat.Satuan-satuan suara itu adalah satuan suara berdasarkan sistem bunyi bahasa. Misalnya satuan suara suku kata: an-ta-ra, ba-ha-gi-a, se-ka-rang, dan sebagainya. Satuan suara kata: dan, nanti, jurang, ternganga, dan seterusnya. Satuan-satuan suara tersebut berabgkai hingga merupkan keseluruhan suara sajak itu.Tetapi dalam karya sastra khususnya puisi, disamping satuan suara berdasarkan konvensi bunyi bahasa, ada satuan-satuan suara berdasarkan konvensi sastra (puisi) yang bersifat khusus, seperti asonansi, aliterasi, pola sajak (awal, dalam, tengah dan akhir), kiasan suara dan orkestrasi.Semua itu untuk mendapatkan efek kepuitisan atau nilai seni.Satuan-satuan suara yang khusus tersebut sebagai berikut.
Dalam bait І, dalam baris pertama ada asonansi a dan aliterasi ng: antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga. Dalam baris kedua ada asonansi i: lagi-menjilat-es-artic. Dalam baris ketiga terdapat aliterasi s:sore-kuhiasi-sus. Dalam baris keempat ada asonansi a digabung dengan aliterasi n: dalam latihan-kita hentikan jam. Pola sajak akhirnya: a-b-b-b-: ternganga- artic- coca cola- berdetik. Kombinasi asonansi, aliterasi, dan sajak akhir itu merupakan orkestrasi yang merdu dan berirama
.
(2) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Fonem, suku kata, kata, kelompok kata, dan kalimat dalam sajak tersebbut merupakan satuan-satuan arti.Akan tetapi, dalam sajak satuan arti minimum adalah kata, dan satuan terluas adalah kaliamat.Arti kata-katanya adalah arti leksikal seperti dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi (karya sastra) ada arti lain berdasarkan konvensi sastra, misalnya arti kiasan.
Contoh: dalam bait І, bahagia berarti kegembiraan, kesenamgam; sekarang: waktu kini; nanti: hari yang akan datang.

(3) Lapis Ketiga
Lapis satuan-satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.
Objek-objek yang dikemukakan berupa: bahagia, jurang ternganga, gadis (adikku), es artic, sus, coca cola, ciuman, goresan ciuman, rasa panas darah, mimpi tua bangka, sorga, cinta, bahaya.
Pelaku atau tokoh: si aku dan si gadis
Latar waktu: sekarang, sore hari. Latar tempat: restoran atau tempat tamasya.
Dunia pengarang disini adalah peristiwa, cerita, ataupun gambaran angan-angan yang diciptakan oleh pengarang.Dunia pengarang ini merupakan penggabungan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dengan perbuatannya, dan peristiwa-peristiwa yang ditimbulkan.

(4) Lapis Keempat
Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi sudah tersirat atau implisit itu, sebagai berikut.
Dipandang dari sudut tertentu, yaitu dari objek-objek: es artic, sus, dan coca cola, maka dialog percintaan itu terjadi direstoran.
Adikku itu berarti pacar si aku, mengingat kata si aku: “sore ini kau cintaku”. Pilihan kata kuhiasi itu menandakan bahwa sus dan coca cola itu makanan yang mewah (pada waktu sekitar tahun 1945 saat sajak itu ditulis).



(5) Lapis Kelima
Lapis kelima adalah lapis metafisik yang menyebabkan pembaca berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam sajak. Dalam sajak ini dikemukakan kengerian akan hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia mengenai apa yang akan datang sebagai jurang yang menganga. Sebab itu nikmatilah kabahagiaan yang didapat pada waktu kini, jangan pikirkan waktu yang berjalan: kita hentikan jam berdetik.
Disamping pikiran diatas, bahkan yang merupakan inti pikirannya segalanya itu tidak berlangsung lama, hanya sebentar, tidak kekal (bait ІІІ, ІV): Sorga hanya permainan sebentar; cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Hal itu tentu merupakan ketragisan hidup manusia: percintaan tidak berlangsung lama, hati terlantar, kosong, tanpa cinta akibat ulah manusia sendiri: lekas bosan dan dikuasai oleh nafsu.
Analisis fenomenologis Roman Ingarden itu adlah analisis induktif, disitu dianalisis fenomena-fenomena seperti adanya, tidak dikemukakan mengenai puitis atau tidaknya, tidak dikemukakan pikiran yang dikemukakan itu hebat atau tidak.Jadi, analisis tidak dihubungkan dengan penilaian.Oleh karena itu, analisisnya dikecam oleh Rene Wellek (1968:156), dikatakan bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian.Hal ini merupakan kesalahan analisis lapis fenomenologis murni.Orang tidak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian.Hal ini mengingat bahwa karya satra merupakan karya seni yang fungsi estetiknya dominan (Wellek dan Warren, 1968:25).Jadi, analisisnya tidak dapat meninggalkan penilaian.
Analisis fenomenologis yang berdasarkan lapis-lapis norma itu dimaksudkan untuk mengetahui atau memahami semua unsure (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan cara seperti itu, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuk karya sastra secara jelas dan terperinci. Dengan demikian, makna dan nilai karya sastra dapat ditangkap dan dimengerti secara jelas.Akan tetapi, analisis yang hanya memecah-mecah unsure-unsur karya sastra demikian dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra (Eliot via Sansom, 1960:155).

Kesimpulan


Jadi, baik tidaknya karya sastra dapat dinilai setelah unsur-unsur atau sistem norma karya sastra diuraikan terlebih dahulu. Sistem norma karya sastra terdiri dari beberapa lapis norma, diantaranya; lapis suara, lapis arti, lapis objek, lapis “dunia” dan stratum metafisika.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH DRAMA

Makalah Penalaran

Rahasia Angka dalam Al Quran