Analisis Lapis Norma dalam karya Sastra (referensi)
. Lapis Suara
(Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar
adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan
panjang.Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan
konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara:
suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak
itu: suara frase dan suara kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi
haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa”
atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai
seni. Mengingat bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk
mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.Dengan kata lain, bunyi juga
memiliki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan
rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi.
Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan
yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan
kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi
adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya
pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu
menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Dalam bait pertama puisi di atas terdapat asonansi bunyi a,
e, dan u pada kata “hanya”, “karena”, “cinta”, “menetes”, “meresap”, “ujung”,
“bulu”, “matamu”, “rumput”, “daun-daun”, “jantungku”, “padamu”, “mensyukuri”,
dan “waktu”. Terdapat pula aliterasi m pada kata “embun”, “menetes”, “matamu”,
“membasahi”, “rumput”, “meresap”, “padamu”, dan “mensyukuri”. Dalam bait kedua
terdapat asonansi bunyi a, u, o, dan i pada kata “siapa”, “menolak”,
“barangkali”, “hanya”, “berjalan”, “kepala”, “bersujud”, “padamu”, “bersyukur”,
“karuniamu”, “orang-orang”, “congkak”, “mendongak”, “langit-langit”, “sambil”,
“melirik”, dan “cibiran”. Terdapat pula aliterasi b dan k pada kata “bersujud”,
“bersyukur”, “barangkali”, “berjalan”, “sambil”, “cibiran”, “menolak”,
“karuniamu”, “congkak”, “kepala”, “mendongak”, dan “melirik”. Dalam bait ketiga
terdapat asonansi bunyi a, i, dan u pada kata “hanya”, “karena”, “cinta”,
“hujan”, “syaraf”, “menghijaukan”, “taman”, “membasahi”, “pori-pori”, “nadi”,
“kembali”, “bernyanyi”, “berzikir”, “ampuni”, “sudut”, “pelupuk”, “matamu”,
“rambutku”, “menyusup”, “tubuh”, “hatiku”, “burung-burungpun”, “karenaku”,
“bersujud”, “padamu”, “ya allah”, “adaku”, dan “padamu”. Terdapat pula
aliterasi n, b, dan m pada kata “karena”, “cinta”, “hujan”, “menetes”, “nadi”,
“taman”, “tubuh”, “burung-burungpun”, “bernyanyi”, “berzikir”, “bersujud”,
“matamu”, “membasahi”, “menyusup”, “menghijaukan”, dan “ampuni”.
2. Lapis Arti
(Units of Meaning)
Setiap diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang
demikian ketat oleh penyair.Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan
yang menjadi salah satu ciri puisi.Pemilihan diksi tersebut akhirnya
mengakibatkan impres tertentu pada pembacanya.Lapis arti (units of meaning)
ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak.Mulai dari fonem, kata,
kalimat, dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17).Lapis arti terbagi
dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika.Dengan menggunakan lapis ini,
arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan
dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
Pada bait pertama diartikan bahwa cinta yang Allah berikan
itu seperti embun yang setiap paginya selalu menetes dan membangunkanku untuk
berdzikir kepadaMu dan selalu mensyukuri apapun yang kita punya atau yang kita
miliki setiap saat. Pada bait kedua diartikan bahwa tidak ada satu makhluk pun
yang tidak bersujud dan bersyukur kepadaMu kecuali orang yang sombong dengan membanggakan
dirinya dan membesar-besarkan omongannya. Pada bait ketiga diartikan bahwa
cinta yang diberikan Allah seperti hujan yang menyejukanku, membuatku merasa
damai, dan alam beserta burung-burungpun senang ketika melihatku berdzikir
kepadaMu. Ya Allah, aku memohon ampun kepadaMu.
3. Lapis Ketiga
(Pengarang)
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang
dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku, dan dunia pengarang.Dunia pengarang
adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang.Ini
merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar,
pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Lapis ketiga ini membahas tentang pengaruh pengarang dan
lingkungannya terhadap karya sastra yang dilahirkannya.Ahmadun Yosi Herfanda
ini banyak menulis sajak-sajak sosial-religius.Puisi “Sajak Embun” ini salah
satunya, dibuktikan pada kata-kata yang dituliskan oleh pengarang tentang cinta
yang diberikan Allah kepada umatnya dan kehidupan orang-orang congkak yang
tidak bersyukur kepadaNya.Hal ini mengusik pengarang untuk menuangkannya dalam
sebuah karya sastra.Hasil karya yang dihasilkan dipengaruhi oleh keadaan yang
sering terjadi pada masyarakat dari jaman dulu sampai jaman sekarang.Jadi,
pengarang dan lingkungannya mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan
tersebut dapat dilihat pada lapis arti.
4. Lapis Keempat
(Dunia)
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang
tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).Lapis
dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari.
Dipandang dari sudut pandang tertentu dimana embun dan hujan
adalah bukti cinta Allah kepada kita seperti dalam bait pertama puisi
digambarkan bahwa embun digambarkan sebagai cintaNya itu meresap sampai ke
jantung dan membuat kita bersyukur atas cinta yang diberikanNya. Pada bait
kedua menggambarkan makhluk yang sombong dengan menolak untuk bersyukur, dan
pada bait ketiga digambarkan lagi cinta Allah dengan menunjukkan hujan yang
bisa menyejukkan hati.
5. Lapis Kelima
(Metafisis)
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah
lapis kelima.Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis
adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan
unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis
terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya
sastra yang dikaji.
Puisi Sajak Embun membahas tentang rasa cinta Allah yang
diberikan kepada umatNya lewat embun dan hujan yang bisa membangunkan,
menyejukkan, dan mendamaikan hati para makhlukNya untuk ingat kepadaNya dengan
cara berdzikir dan bersyukur setiap saat kepadaNya, makhluk-makhlukNya yang
tidak bersyukur termasuk makhluk yang sombong. Penggambaran rasa cinta itu
dikemas dalam sebuah karya sastra yang mengandung makna dan penyampaian dengan
ketepatan diksi yang digunakan oleh pengarang. Oleh sebab itu, penulis mengajak
para pembaca untuk selalu bersyukur terhadap apa yang telah Allah berikan
kepada kita, tidak lupa berdzikir dalam keadaan apapun, dan tidak menjadi orang
yang sombong.
negara, lingkungan dan orang tuanya. Itulah mengapa setelah
diksi ‘belenggu’ diberi pro nomina ‘nya’.Agar semakin jelas siapa yang
menyimpan kemerdekaan dan belenggu itu. Kaki di sini
tidak bisa ditafsirkan semata-mata sebagai kaki manusia
dalam bahasa semiotik tingkat pertama. Karena kaki merupakan
pars prototo
(sebagian untuk
keseluruhan) dari seluruh hal yang menjadi
pijakan manusia. Mungkin ideologi, agama, keperayaan atau yang lainnya.
Ada sesuatu yang mencengangkan ketika membaca bait keempat sajak
Doa untuk Anakku
. Aku lirik menggunakan diksi ‘jangan’ pada:
Janganlah Kaumanjakan
ia/ Jangan Kauistimewakan kemurahan
baginya
. Meskipun kata ‘jangan’ juga digunakan pada bai kedua,
namun pada bait i
ni kata ‘jangan’ disebutkan hingga dua kali pada baris yang
berurutan (biasa
disebut gaya ulang bunyi sajak awal). Ada intensitas
penyebutan di dalamnya mesk hanya dua
kali penyebutan. Dalam realitas keseharian diksi ‘jangan’
memang bukan kata yang vulgar
sebagai kalimat perintah, bedanya dalam konteks sajak
Doa untuk Anakku
diksi ‘jangan’ terdapat
di tengah doa. Padahal sebagaimana telah disebutkan di awal
doa merupakan ungkapan ketulusan dan kesungguhan. Hal ini mengindikasikan
sesuatu yang teramat serius terlebih ketika membaca kata-kata berikutnya: aku
lirik melarang Tuhan memanjakan dan mengistemawakan
kemurahan untuk anaknya. Seolah penggunaan diksi ‘jangan’
dimaksudkan untuk memberikan
penekanan pada hal yang diminta aku lirik. Tujuan penekanan
tersebut terdapat pada baris berikutnya:
Agar cepat ia mengenali
dirinya/ Dan mengerti bahasa tetangganya.
Diksi ‘mengerti bahasa tetangga’ merupakan simbol
pluralisme. Simbol penghormatan
terhadap orang atau makhluk lain. Karena sebagaimana kita
maklumi bersama, bahasa merupakan alat satu-satunya makhluk melakukan
interaksi. Tetapi sebelum mengerti bahasa tetangganya, aku lirik menginginkan
agar anaknya mengenali dirinya terlebih dahulu dengan proses yang cepat. Artinya aku lirik
menginginkan anaknya mengetahui seluruh kekurangan dan
kelebihan yang dimilikinya sampai ke hal-hal yang terkecil
dalam dirinya. Asumsi tersebut
didasarkan pada penggunaan diksi ‘kenal’ yang identik dengan
proses seseorang menjadi tahu
sesuatu dari yang sebelumnya sama sekali tidak tahu sesuatu
tersebut. Kearifan yang luar biasa pada sajak
Doa untuk Anakku
adalah pada bait kelima:
Hukumlah jika ia
meminta kemenangan/ Sebab, itu berarti/ Mendoakan kekalahan/ Bagi sesamanya.
Aku lirik sangat jelas pada bait tersebut meminta agar Tuhan
menghukum anaknya bila ia meminta
kemenangan. Padahal saat modernisasi semua bidang terus dikembangkan,
orang-orang sibuk memenuhi ambisi untuk kemenangan pribadi. Bait yang juga
mengingatkan pembaca untuk kembali
berkontemplasi dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia untuk peduli pada sesama dengan berbagai cara. Aku
lirik benar-benar menginginkan anaknya untuk
bisa melayani kehidupan, tidak memihak, meski terhadap dirinya sendiri.
Bahkan si aku lirik berdoa agar anaknya
tidak meminta kemenangan. Ringkasnya aku lirik benar-benar tidak menghendaki
anaknya memiliki sikap egois. Sifat yang sangat bertentangan dengan
kebiasaan baru sebagian masyarakat
Indonesia, yaitu semakin asik berkejaran dengan waktu demi ambisi pribadi. Akhirnya menjadi barang langka
pemandangan kerumunan orang membantu mendirikan rumah tetangganya tanpa
bayaran. Sangat mungkin disinilah
key word
atau fokus kegelisahan si aku lirik hingga ia memohon Tuhan
untuk menghukum anaknya bila ia meminta kemenangan. Setiap bait pada sajak
Doa untuk Anakku
seolah memberikan pelajaran mengenai bagaimana menjalani kehidupan tetapi tanpa
pembaca merasa digurui. Nyaris setiap bait memiliki setidaknya satu diksi yang
penafsirannya bisa sangat luas. Tidak salah apabila ada yang berasumsi bahwa membaca sajak ini seperti
diajak berkelana menyusuri kearifan hidup hingga akhirnya secara tidak sadar
akan mempertanyakan kualitas hidup pribadinya. Misalnya pada baris terakhir bait keenam:
Untuk melihat punggung yang tak nampak olehnya.
Punggung bisa
saja diartikan dengan menggunakan konvensi bahasa tingkat
pertama, tetapi bila menggunakan
sistem bahasa tingkat kedua ‘punggung’ bisa dimaknai dengan
karakter, sifat, keangkuhan dan
lain sebagainya yang kadang memang tidak kita sadari. Usai
mengajak pembaca berkontemplasi dengan banyak hal, sajak ditutup dengan sesuatu
yang luar biasa:
Tuhanku,/ Semoga atas nama-Mu/ Ia mampu bergaul dengan-MU.
–
Mu pada baris
terakhir tersebut menggunakan huruf M kapital yang mengacu kepada kata Tuhan.
Bergaul dengan Tuhan dalam kerangka pemikiran sufistik Islam adalah tingkatan
tertinggi seorang manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Apabila
seseorang mampu bergaul dengan Tuhan berarti ia telah bertakwa dan mampu
merasakan kehadiran Tuhan. Penutup sajak ini
begitu apik karena mampu menghadirkan atmosfir ketuhanan yang begitu
sakral dengan kombinasi bunyi vokal, konsonan bersuara, bunyi liquida dan bunyi
sengau. Sehingga menghasilkan bunyi yang merdu dan berirama
Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
Untuk menganalisis karya sastra setepat-tepatnya perlu
diketahui apa sesungguhnya karya sastra itu. Oleh karena itu, karya sastra
harus dimengerti sebagai struktur norma-norma.
Dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1968:150-151) pengertian
norma ini janganlah dikacaukan dengan norma-norma klasik, etika, ataupun
politik (yang ditentukan dari luar). Norma itu harus dipahami sebagai norma
implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan
bersama-sama merupakan karya sastra murni sebagai keseluruhan.
Karya sastra bukan hanya merupakan satu sistem norma,
melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Setiap norma menimbulkan
lapis norma dibawahnya. Wellek dan Warren (1968:151) mengemukakan analisis
Roman Ingarden yang didalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan
metode fenomenologi Edmond Husserl, ia menganalisis norma-norma sebagai
berikut.
1. Lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi
(karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda
pendek, agak panjang, dan panjang.Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi
tanpa arti.Sesuai dengan konvensi bahasa, bunyi itu disusn sedemikian rupa
hingga menimbulkan arti berdasarkan konvensi.Dengan adanya satuan-satuan suara,
orang menangkap artinya.Maka, lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya lapis
arti.
2. Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem,
suku kata, kelompok kata (frase), dan kalimat. Semuanya itu merupakan
satuan-satuan arti.Akan tetapi, dalam karya sastra yang merupakan satuan
minimum arti adalah kata.Kata dirangkai menjadi kelompok kata dan kalimat.
Kalimat-kalimat berangkai menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun
keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapis ketiga,
yaitu objek-objek yang dikemukakan, pelaku, latar, dan semuanya itu berangkai
menjadi dunia pengarang berupa cerita, lukisan, ataupun pernyataan.
3. Lapis objek yang dikemukakan, “dunia pengarang”, pelaku,
tempat (setting).
4. “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang
tidak perlu dinyatakan secara eksplisit karena sudah terkandung didalamnya
(implied). Sebuah peristiwa dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau
“terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya jederan pintu, dapat
menyiratkan atau memperlihatkan aspek watak “luar” atau “dalam”. Misalnya,
pintu membuka bersuara halus dapat memberi sugesti yang membuka atau menutup
seorang wanita atau orang yang berwatak hati-hati.
5. Lapis metafisik, berupa sifat-sifat metafisik (yang
sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan
sifat-sifat ini karya sastra memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca.
Akan tetapi, lapis metafisik tidak terdapat dalam semua karya sastra.
2. Contoh Analisis Lapis Norma Karya Sastra
Untuk menjelaskan uraian mengenai analisis fenomenologis,
disini dianalisis sajak Chairil Anwar.
TUTI ARTIC
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan sus + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
,, ketika kita bersepeda kuantar kau pulang ,,
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang,
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti+Greet+Amoi….hati terlantar.
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
(1959:41)
(1) Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa rangkaian satuan suara, yaitu suara
suku kata, kata, kelompok kata dan suara kalimat.Satuan-satuan suara itu adalah
satuan suara berdasarkan sistem bunyi bahasa. Misalnya satuan suara suku kata:
an-ta-ra, ba-ha-gi-a, se-ka-rang, dan sebagainya. Satuan suara kata: dan,
nanti, jurang, ternganga, dan seterusnya. Satuan-satuan suara tersebut
berabgkai hingga merupkan keseluruhan suara sajak itu.Tetapi dalam karya sastra
khususnya puisi, disamping satuan suara berdasarkan konvensi bunyi bahasa, ada
satuan-satuan suara berdasarkan konvensi sastra (puisi) yang bersifat khusus,
seperti asonansi, aliterasi, pola sajak (awal, dalam, tengah dan akhir), kiasan
suara dan orkestrasi.Semua itu untuk mendapatkan efek kepuitisan atau nilai
seni.Satuan-satuan suara yang khusus tersebut sebagai berikut.
Dalam bait І, dalam baris pertama ada asonansi a dan
aliterasi ng: antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga. Dalam baris
kedua ada asonansi i: lagi-menjilat-es-artic. Dalam baris ketiga terdapat
aliterasi s:sore-kuhiasi-sus. Dalam baris keempat ada asonansi a digabung
dengan aliterasi n: dalam latihan-kita hentikan jam. Pola sajak akhirnya:
a-b-b-b-: ternganga- artic- coca cola- berdetik. Kombinasi asonansi, aliterasi,
dan sajak akhir itu merupakan orkestrasi yang merdu dan berirama
.
(2) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Fonem, suku kata, kata, kelompok kata, dan kalimat dalam
sajak tersebbut merupakan satuan-satuan arti.Akan tetapi, dalam sajak satuan
arti minimum adalah kata, dan satuan terluas adalah kaliamat.Arti kata-katanya
adalah arti leksikal seperti dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi (karya
sastra) ada arti lain berdasarkan konvensi sastra, misalnya arti kiasan.
Contoh: dalam bait І, bahagia berarti kegembiraan,
kesenamgam; sekarang: waktu kini; nanti: hari yang akan datang.
(3) Lapis Ketiga
Lapis satuan-satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga,
yaitu objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.
Objek-objek yang dikemukakan berupa: bahagia, jurang
ternganga, gadis (adikku), es artic, sus, coca cola, ciuman, goresan ciuman,
rasa panas darah, mimpi tua bangka, sorga, cinta, bahaya.
Pelaku atau tokoh: si aku dan si gadis
Latar waktu: sekarang, sore hari. Latar tempat: restoran
atau tempat tamasya.
Dunia pengarang disini adalah peristiwa, cerita, ataupun
gambaran angan-angan yang diciptakan oleh pengarang.Dunia pengarang ini
merupakan penggabungan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku
dengan perbuatannya, dan peristiwa-peristiwa yang ditimbulkan.
(4) Lapis Keempat
Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi sudah
tersirat atau implisit itu, sebagai berikut.
Dipandang dari sudut tertentu, yaitu dari objek-objek: es
artic, sus, dan coca cola, maka dialog percintaan itu terjadi direstoran.
Adikku itu berarti pacar si aku, mengingat kata si aku:
“sore ini kau cintaku”. Pilihan kata kuhiasi itu menandakan bahwa sus dan coca
cola itu makanan yang mewah (pada waktu sekitar tahun 1945 saat sajak itu
ditulis).
(5) Lapis Kelima
Lapis kelima adalah lapis metafisik yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam sajak. Dalam sajak
ini dikemukakan kengerian akan hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia
mengenai apa yang akan datang sebagai jurang yang menganga. Sebab itu
nikmatilah kabahagiaan yang didapat pada waktu kini, jangan pikirkan waktu yang
berjalan: kita hentikan jam berdetik.
Disamping pikiran diatas, bahkan yang merupakan inti
pikirannya segalanya itu tidak berlangsung lama, hanya sebentar, tidak kekal
(bait ІІІ, ІV): Sorga hanya permainan sebentar; cinta adalah bahaya yang lekas
jadi pudar. Hal itu tentu merupakan ketragisan hidup manusia: percintaan tidak
berlangsung lama, hati terlantar, kosong, tanpa cinta akibat ulah manusia sendiri:
lekas bosan dan dikuasai oleh nafsu.
Analisis fenomenologis Roman Ingarden itu adlah analisis
induktif, disitu dianalisis fenomena-fenomena seperti adanya, tidak dikemukakan
mengenai puitis atau tidaknya, tidak dikemukakan pikiran yang dikemukakan itu hebat
atau tidak.Jadi, analisis tidak dihubungkan dengan penilaian.Oleh karena itu,
analisisnya dikecam oleh Rene Wellek (1968:156), dikatakan bahwa analisisnya
yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan
penilaian.Hal ini merupakan kesalahan analisis lapis fenomenologis murni.Orang
tidak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan
penilaian.Hal ini mengingat bahwa karya satra merupakan karya seni yang fungsi
estetiknya dominan (Wellek dan Warren, 1968:25).Jadi, analisisnya tidak dapat
meninggalkan penilaian.
Analisis fenomenologis yang berdasarkan lapis-lapis norma
itu dimaksudkan untuk mengetahui atau memahami semua unsure (fenomena) karya
sastra yang ada. Dengan cara seperti itu, akan dapat diketahui unsur-unsur
pembentuk karya sastra secara jelas dan terperinci. Dengan demikian, makna dan
nilai karya sastra dapat ditangkap dan dimengerti secara jelas.Akan tetapi,
analisis yang hanya memecah-mecah unsure-unsur karya sastra demikian dapat
berakibat mengosongkan makna karya sastra (Eliot via Sansom, 1960:155).
Kesimpulan
Jadi, baik tidaknya karya sastra dapat dinilai setelah
unsur-unsur atau sistem norma karya sastra diuraikan terlebih dahulu. Sistem
norma karya sastra terdiri dari beberapa lapis norma, diantaranya; lapis suara,
lapis arti, lapis objek, lapis “dunia” dan stratum metafisika.
Komentar