Cerpen Baksoku Hidupku oleh Ari Wibowo
Baksoku Hidupku
by Ari Wibowo
Lagi
dan lagi, gerimis mencurah dari mataku, hinaan menampar relung hatiku, apa
salahku? Apa aku gak pantas belajar seperti mereka? Aku memang anak tukang
panjual bakso keliling, tapi aku kan juga memiliki hak untuk menuntut ilmu di
sekolah yang aku idamkan. Ahh,, biar saja Tuhan yang akan membalas mereka.
Setibaku
dirumah, aku dikagetkan dengan sapaan kakakku, “hey jagoan, kenapa muka mu lesu
kaya gitu? Ada yang mengganggu kamu lagi? Bilang saja, biar aku yang menghajar
mereka.”
“tidak
kak, aku lesu bukan karena ada yang menggangguku, tapi karena tugas sekolah
yang super duper banyak kak, jadi kualahan aku ngerjainnya”
“ooooo,,,
gitu toh jagoan, kalo ada yang mengganggu bilang aja ke kakak, biar kakak
hantam tuh anank-anak nakal”
Kakakku
ini memang perhatian, malah sangat perhatian terhadapku, aku bangga memiliki
dia, oleh karena itu aku tidak mau melibatkan dia dalam masalahku.
Seperti
biasa ketika maentari enggan memberikan panas, kuluangkan waktu membantu bapak
membawa jualan, panci besar berisi pentol aku jinjing dengan penuh semangat,
tiap sudut mata iba melirikku, tapi tak sedikitpun wajahku menampakkan lelah, aku
tak ingin dikasihani, sebab aku masih ingin sekolah.
“oaalaahhh
Ran, kamu kok mau sih kerja beginian, aku kasihan masih kecil kok udah kerja
keras seperti ini?”
“hehe,,
ibu santai aja, aku masih kuat bu, kerja beginian mah masih mudah untukku.”
“
Rani, Rani, kamu masih kecil udah rajin banget, ibu salut sama kamu nak”
“Ibu
bisa aja deh”
Satu
lagi orang yang perhatian sama aku, dia adalah pemilik warung tempat aku
menitipkan jualan orang tuaku, Ia sering ku panggil Ibu Ness yang sampai
sekarang aku belum tahu nama lengkapnya.
Sepulangku
dari warung Ibu Ness, biasanya aku mampir di Taman Sastra. Ya seperti namanya,
di taman ini banyak sekali peminat sastra yang saling mengemukakan karya karya
mereka, dari sini aku mulai menyukai sastra dan sedikit demi sedikit aku mulai
mempelajari meski hanya dengan menyimak dari bangku taman. Sehabis menyaksikan karya-karya
mereka, aku langsung mencoba untuk menulis walaupun tulisanku sangat jelek,
tapi tetap saja itu karyaku yang harus aku hargai.
Pagi-pagi
aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, walaupun jauh, namun semangatku
takkan pernah luntur. Kicau burung kecil didahan pohon, hangat mentari pagi
serta tetes embun yang kerap jatuh membasahi wajahku, semakin menambah
semangatku ntuk terus menuntut ilmu supaya setelah aku lulus nanti, aku bisa
melanjutkan minatku dibidang sastra.
Bel
masuk berdering kupercepat langkah sebelum guru masuk mendahuluiku. Ahh,, lagi
dan lagi, setiap pagi ketika selangkah memasuki ruang kelas, aku selalu
dikejutkan oleh jebakan anak-anak yang tidak senangn dengan kehadiranku, entah
balon air lah, boneka jelangkung lah, dan banyak sekali ide kreatif mereka
untuk menggangguku, syukurlah ini hari ini hanya suara kuntilanak yang mereke
sediakan. Memang sih, kadang ilfil aku dibuatnya namun, apalah dayaku yang
hanya anak seorang penjual bakso keliling, dibandingkan mereka yang anak
direktur, PNS, polisi.
“hai
Ran, kamu bisa membantuku istrahat nanti?
“iya,
semoga aku gak ada kerjaan nanti”
Aneh
pikirku, kok Else baik terhadapku hari ini? Biasanya dia beserta teman-temannya
selalu mengerjaiku. Tapi pikiran negatifa ku sisihkan di tempat lain dibagian
otakku, bel istrahatpun berbunyi, dan Else menghampiriku.
“gimana
Ran kamu bisa?”
“iya
bisa, emang ngapain El?”
“kemarin
di gudang belakang antingku hilang, aku mencarinya tapi belum ketemu, kamu bisa
bantuin aku mencari cicinku?”
“iya,
ayo cepat kita kesana sebelum bel masuk berbunyi”
Kupercepat
langkahku ke gudang sekolahku, aku lama kami mencari namun belum ketemu, sampai
Else pamit untuk ke toilet. Lama aku mencari cincin tanpa else sampai aku capek
mecari sendiri, tak disangka pintu gudang telah dikunci dari luar, aku
menemukan selembar kertas yang bretuliskan.
Anak penjual bakso keliling tidak
pantas untuk sekolah bareng kami
Kami anak orang-orang elit yang
mempunyai nama
Pindah saja, cari saja sekolah yang
pantas untukmu
Disini tak sesuai untukmu
Hancur
terasa hatiku membaca tulisan itu, apakah anak penjual bakso keliling tidak
berhat untuk sekolah baereng anak orang elit? Bukankan hukum Indonesia
menyatakan setiap masyarakat berhak mendapatkan pendidikan yang layak? Ahh,,
biar saja Tuhan yang membalas perbuatan mereka.
Lama
mereka menyekapku didalam gudang ini, sampai aku mendengar suara yang sangat
kukenal memanggil-manggil namaku.
“Ran,
Rani, kamu didalam?”
“iya
Yan, aku didalam, kamu bisa bukakan pintu gudang ini?”
“bentar
ya, aku cari kunci dulu”
Tak
lama aku mendengar suara pintu yang terbuka dari luar, ternyata itu Yanti, aku
berlari memeluk dia yang ditemani isak tangisku menceritakan semua yang telah
terjadi menimpaku.
“sabar
Ran, biar Tuhan yang membalas”
“iya
Yan, aku juga tidak mau mencari masalah dengan mereka”
“eh
Ran, kamu kan suka menulis puisi, besok ada lomba membaca puisi yang diadakan
pihak SMA yang diadakan di aula, ikut yuk!”
“
iya dah, tapi kamu juga harus ikut ya!”
“iya
jagoan, aku pasti ikut kok”
“Itu
kata-kata kakakku, kamu fotokopi ya?”
Kami
pulang sambil sesekali menceritakan hal yang konyol yang membuat kami terbahak.
Hingga aku melupakan hal yang menimpaku di sekolah tadi siang.
Keesokan
harinya, bel istrahat berbunyi aku dan Yanti segera menuju aula untuk ikut
lomba membaca puisi. Ternyata banyak sekali yang ikut lomba ini, hingga giliran
akupun telah tiba.
Perlahan
aku melangkah menuju panggung, hati gugup ditemani gemetaran sekujur tubuhku,
aku memberanikan untuk cepat membaca puisi yang telah aku buat semalam.
Receh demi receh aku kumpul
Demi tertulis nama diselebaran sampul
Tahukah engkau wahai sahabat?
Tahukah engkau wahai kerabat?
Setiap kuah yang kau nikmati
Setiap bulatan bakso yang kau cicipi
Disitulah bergantung sejuta harapanku
Disitulah bergantung sejuta mimpiku
Tahukah engkau wahai sahabat?
Tahukah engkau wahai kerabat?
Meski aku hidup tanpa uang saku
Meski aku mengenakan bekas sepatu
Tetapi aku memiliki mimpi yang Satu
Menjadikan Indonesia menyatu
Baru saja kuucak kata usai,
tiba-tiba saja Else datang memelukku dengan isak tangis sambil mengucapkan
“Ran, aku minta maaf, kamu mau maafin aku kan?” “tentu saja sahabatku” jawabku
tersenyum bahagia.
Komentar